Mengenal Jenis Insan Purba Meganthropus, Pithecanthropus Erectus-Robustus, Homo Sapiens, Insan Wajak Dan Insan Liang Bua Dari Situs Trinil
Berikut ini akan kita bahas wacana peradaban awal di kepulauan indonesia, menelusuri peradaban awal di kepulauan indonesia, peradaban awal masyarakat indonesia, mengenal insan purba, insan purba, foto insan purba, jenis-jenis insan purba, jenis insan purba, zaman purba, insan purba di indonesia, insan purba di trinil, insan purba trinil, museum trinil, situs trinil, insan trinil, trinil insan purba, situs insan purba trinil, insan purba meganthropus, insan purba pithecanthropus, insan purba pithecanthropus erectus, foto insan purba pithecanthropus erectus, insan purba pithecanthropus robustus, insan purba jenis homo, insan purba homo sapiens, insan purba homo soloensis, insan wajak, homo sapiens, homo mojokertensis, insan liang bua.
Situs Manusia Purba Trinil, Ngawi, Jawa Timur
Sebelum penemuannya di Trinil, Eugene Dubois mengawali temuan Pithecantropus erectus di Desa Kedungbrubus, sebuah desa terpencil di kawasan Pilangkenceng, Madiun, Jawa Timur.
Desa itu berada tepat di tengah hutan jati di lereng selatan Pepegununganan Kendeng. Pada dikala Dubois mereview dua horizon/lapisan berfosil di Kedungbrubus ditemukan sebuah fragmen rahang yang pendek dan sangat kekar, dengan sebagian prageraham yang masih tersisa.
Prageraham itu mengatakan ciri gigi insan bukan gigi kera, sehingga diyakini bahwa fragmen rahang bawah tersebut milik rahang hominid. Pithecantropus itu kemudian dikenal dengan Pithecantropus A.
Fosil-fosil temuan di Kedungbrubus |
Trinil ialah sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, masuk wilayah manajemen Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Tinggalan purbakala sudah lebih dulu ditemukan di kawasan ini jauh sebelum von Koeningswald menemukan Sangiran pada 1934.
Ekskavasi yang dilakukan oleh Eugene Dubois di Trinil sudah membawa inovasi sisa-sisa insan purba yang sangat berharga bagi dunia pengetahuan.
Eugene Dubois |
Penggalian Dubois dilakukan pada endapan alluvial Bengawan Solo. Dari lapisan ini ditemukan atap tengkorak Pithecanthropus erectus, dan beberapa buah tulang paha (utuh dan fragmen) yang mengatakan pemiliknya sudah berjalan tegak.
Tengkorak Pithecanthropus erectus dari Trinil sangat pendek tetapi memanjang ke belakang. Volume otaknya sekitar 900 cc, di antara otak simpanse (600 cc) dan otak insan modern (1.200-1.400 cc).
Tulang kening sangat menonjol dan di bab belakang mata, terdapat penyempitan yang sangat jelas, menerangkan otak yang belum berkembang.
Pada bab belakang kepala terlihat bentuk yang meruncing yang diduga pemiliknya ialah perempuan. Berdasarkan kaburnya sambungan perekatan antartulang kepala, ditafsirkan inividu ini sudah mencapai usia dewasa.
Selain tempat-tempat di atas, peninggalan insan purba tipe ini juga ditemukan di Perning, Mojokerto, Jawa Timur; Ngandong, Blora, Jawa Tengah; dan Sambungmacan, Sragen, Jawa Tengah.
Temuan berupa tengkorak bawah umur berusia sekitar 5 tahun oleh penduduk yang sedang memmenolong penelitian Koeningswald dan Duyfjes perlu untuk dipertimbangkan. Temuan itu menjadi materi diskusi yang menarikdanunik bagi para ilmuwan.
Metode pengujian penanggalan potasium-argon yang dipakai oleh Tengku Jakob dan Curtis terhadap kerikil apung yang terdapat disekitar fosil tengkorak itu mengatakan angka 1,9 atau kurang lebih 0,4 juta tahun.
Pengujian juga dilakukan dengan mengambil sampel endapan kerikil apung dari dalam tengkorak dan mengatakan angka 1,81 juta tahun. Hasil uji penanggalan-penanggalan tersebut menjadi perdebatan para mahir dan perlu untuk dikaji lebih lanjut.
Bila penanggalan itu benar, maka tengkorak anak Homo erectus dari Perning, Mojokerto ini ialah individu Homo erectus tertua di Indonesia. Adakah diantara engkau yang tertarik untuk melaksanakan pengujian ini?
Temuan Homo erectus juga ditemukan di Ngandong, yaitu sebuah desa di tepian Bengawan Solo, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Tengkorak Homo erectus Ngandong berukuran besar dengan volume otak rata-rata 1.100 cc.
Ciri-ciri ini mengatakan Homo erectus ini lebih maju jikalau dibandingkan dengan Homo erectus yang ada di Sangiran. Manusia Ngandong diperkirakan berumur antara 300.000-100.000 tahun.
Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, dapatlah direkonstruksi beberapa jenis insan purba yang pernah hidup di zaman pra-aksara.
Jenis Meganthropus
Jenis insan purba ini terutama berdasarkan penelitian von Koeningswald di Sangiran tahun 1936 dan 1941 yang menemukan fosil rahang insan yang berukuran besar.
Dari hasil rekonstruksi ini kemudian para mahir menamakan jenis insan ini dengan sebutan Meganthropus paleojavanicus, artinya insan raksasa dari Jawa.
Jenis insan purba ini mempunyai ciri rahang yang besar lengan berkuasa dan badannya tegap. Diperkirakan masakan jenis insan ini ialah tumbuh-tumbuhan. Masa hidupnya diperkirakan pada zaman Pleistosen Awal.
Jenis Pithecanthropus
Jenis insan ini didasarkan pada penelitian Eugene Dubois tahun 1890 di bersahabat Trinil, sebuah desa di pinggiran Bengawan Solo, di wilayah Ngawi. Sesudah direkonstruksi terbentuk kerangka manusia, tetapi masih terlihat gejala kera.
Oleh alasannya itu jenis ini dinamakan Pithecanthropus erectus, artinya insan simpanse yang berjalan tegak. Jenis ini juga ditemukan di Mojokerto, sehingga disebut Pithecanthropus mojokertensis.
Tengkorak Pithecanthropus erectus yang ditemukan di Trinil |
Jenis insan purba yang juga populer sebagai rumpun Homo erectus ini paling banyak ditemukan di Indonesia. Diperkirakan jenis insan purba ini hidup dan berkembang sekitar zaman Pleistosen Tengah.
Jenis Homo
Fosil jenis Homo ini pertama diteliti oleh von Reitschoten di Wajak. Penelitian dilanjutkan oleh Eugene Dubois bersama kawan-kawan dan menyimpulkan sebagai jenis Homo.
Ciri-ciri jenis insan Homo ini muka lebar, hidung dan mulutnya menonjol. Dahi juga masih menonjol, sekalipun tidak semenonjol jenis Pithecanthropus.
Bentuk fisiknya tidak jauh tidak sama dengan insan sekarang. Hidup dan perkembangan jenis insan ini sekitar 40.000 – 25.000 tahun yang lalu.
Tempat-tempat penyebarannya tidak spesialuntuk di Kepulauan Indonesia tetapi juga di Filipina dan Cina Selatan. Homo sapiens artinya ‘manusia sempurna’ baik dari segi fisik, volume otak maupun postur badannya yang secara umum tidak jauh tidak sama dengan insan modern.
Kadang-kadang Homo sapiens juga diartikan dengan ‘manusia bijak’ alasannya sudah lebih maju dalam berpikir dan menyiasati tantangan alam. Bagaimanakah mereka muncul ke bumi pertama kali dan kemudian menyebar dengan cepat ke aneka macam penjuru dunia sampai dikala ini?
Evolusi Manusia |
Para mahir paleoanthropologi sanggup melukiskan perbedaan morfologis antara Homo sapiens dengan penlampaunya, Homo erectus. Rangka Homo sapiens kurang kekar posturnya dibandingkan Homo erectus. Salah satu alasannya alasannya tulang belulangnya tidak setebal dan sekompak Homo erectus.
Hal ini mengindikasikan bahwa secara fisik Homo sapiens jauh lebih lemah dibanding sang penlampau tersebut. Di lain pihak, ciri-ciri morfologis maupun biometriks Homo sapiens mengatakan karakter yang lebih berevolusi dan lebih modern dibandingkan dengan Homo erectus.
Sebagai misal, karakter evolutif yang paling signifikan ialah bertambahnya kapasitas otak. Homo sapiens mempunyai kapasitas otak yang jauh lebih besar (rata-rata 1.400 cc), dengan atap tengkorak yang jauh lebih bulat dan lebih tinggi dibandingkan dengan Homo erectus yang mempunyai tengkorak panjang dan rendah, dengan kapasitas otak 1.000 cc.
Rekonstruksi tengkorak Homo erectus |
Segi-segi morfologis dan tingkatan kepurbaannya mengatakan ada perbedaan yang sangat aktual antara kedua spesies dalam genus Homo tersebut.
Homo sapiens kesudahannya tampil sebagai spesies yang sangat tangguh dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan dengan cepat menghuni aneka macam permukaan dunia ini.
Berdasarkan bukti-bukti penemuan, sejauh ini insan modern awal di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara paling tidak sudah hadir semenjak 45.000 tahun yang lalu.
Dalam perkembangannya, kehidupan insan modern ini sanggup dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu (i) kehidupan insan modern awal yang kehadirannya sampai kiamat es (sekitar 12.000 tahun lalu),
kemudian dilanjutkan oleh (ii) kehidupan insan modern yang lebih belakangan, dan berdasarkan karakter fisiknya dikenal sebagai ras Austromelguasoid. (iii) mulai di sekitar 4000 tahun kemudian muncul penghuni gres di Kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai penutur bahasa Austronesia.
Berdasarkan karakter fisiknya, makhluk insan ini tergolong dalam ras Mongolid. Beberapa spesimen (penggolongan) insan Homo sapiens sanggup dikelompokkan sebagai diberikut,
a. Manusia Wajak
Manusia Wajak (Homo wajakensis) ialah satu-satunya temuan di Indonesia yang untuk sementara sanggup disejajarkan perkembangannya dengan insan modern awal dari simpulan Kala Pleistosen.
Fosil Manusia Wajak |
Pada tahun 1889, insan Wajak ditemukan oleh B.D. van Rietschoten di sebuah ceruk di lereng pepegununganan karst di barat maritim Campurdarat, bersahabat Tulungagung, Jawa Timur.
Sartono Kartodirjo (dkk) menguraikan wacana temuan itu, berupa tengkorak, termasuk fragmen rahang bawah, dan beberapa buah ruas leher. Temuan Wajak itu ialah Homo sapiens.
Mukanya datar dan lebar, akar hidungnya lebar dan bab mulutnya menonjol sedikit. Dahinya agak miring dan di atas matanya ada busur kening nyata. Tengkorak ini diperkirakan milik seorang wanita berumur 30 tahun dan mempunyai volume otak 1.630 cc.
Wajak kedua ditemukan oleh Dubois pada tahun 1890 di tempat yang sama. Temuan berupa fragmen-fragmen tulang tengkorak, rahang atas dan rahang bawah, serta tulang paha dan tulang kering. Pada tengkorak ini terlihat juga busur kening yang nyata.
Pada tengkorak pria perlekatan otot sangat nyata. Langit-langit juga dalam. Rahang bawah besar dengan gigi-gigi yang besar pula. Kalau menutup gigi muka atas terkena gigi muka bawah. Dari tulang paspesialuntuk sanggup diketahui bahwa tinggi tubuhnya kira-kira 173 cm.
melaluiataubersamaini demikian sanggup dikatakan bahwa insan wajak bertubuh tinggi dengan isi tengkorak yang besar. Wajak sudah termasuk Homo sapiens, jadi sangat tidak sama ciri-cirinya dengan Pithecanthropus.
Manusia Wajak mempunyai ciri-ciri baik Mongoloid maupun Austromelguasoid. Diperkirakan dari insan Wajak inilah sub-ras Melayu Indonesia dan turut pula berevolusi menjadi ras Austromelguasoid sekarang.
Hal itu sanggup dilihat dari ciri tengkoraknya yang sedang atau agak lonjong itu berbentuk agak persegi di tengah-tengah atap tengkoraknya dari muka ke belakang.
Muka cenderung lebih Mongoloid, oleh alasannya sangat datar dan pipinya sangat menonjol ke samping. Beberapa ciri lain juga menunjukkan ciri-ciri ke dua ras di atas.
Temuan Wajak mengatakan pada kita bahwa sekitar 40.000 tahun yang kemudian Indonesia sudah didiami oleh Homo sapiens yang rasnya sukar dicocokkan dengan ras-ras pokok yang terdapat sekarang, sehingga insan Wajak sanggup dianggap sebagai suatu ras tersendiri.
Manusia Wajak tidak pribadi berevolusi dari Pithecanthropus, tetapi mungkin tahapan Homo neanderthalensis yang belum ditemukan di Indonesia ataupun dari Homo neanderthalensis di tempat Pithecanthropus erectus ataupun satu ras yang mungkin berevolusi ke arah Homo yang ditemukan di Indonesia.
Manusia Wajak itu tidak spesialuntuk mendiami Kepulauan Indonesia bab Barat saja, akan tetapi juga di sebagian Kepulauan Indonesia bab Timur.
Ras Wajak ini ialah penduduk Homo sapiens yang kemudian menurunkan ras-ras yang kemudian kita kenal sekarang. Melihat ciri-ciri Mongoloidnya lebih banyak, maka ia lebih bersahabat dengan sub-ras Melayu-Indonesia.
Hubungannya dengan ras Australoid dan Melguasoid kini lebih jauh, oleh alasannya kedua sub-ras ini gres mencapai bentuknya yang kini di tempatnya yang baru. tetapi memang mungkin juga bahwa ras Austromelguasoid yang lampau berasal dari ras Wajak.
b. Manusia Liang Bua
Pengumuman wacana inovasi insan Homo floresiensis tahun 2004 menggemparkan dunia ilmu pengetahuan. Sisa-sisa insan ditemukan di sebuah gua Liang Bua oleh tim peneliti gabungan Indonesia dan Australia. Sebuah gua permukiman di Flores.
Liang Bua jikalau diartikan secara harfiah ialah sebuah gua yang dingin. Sebuah gua yang sangat lebar dan tinggi dengan permukaan tanah yang datar, ialah tempat bermukim yang nyaman bagi insan pada masa pra-aksara.
Hal itu sanggup dilihat dari kondisi lingkungan sekitar gua yang sangat indah, yang berada di sekitar bukit dengan kondisi tanah yang datar di depannya.
Liang Bua ialah sebuah temuan insan modern awal dari simpulan masa Pleistosen di Indonesia yang menakjubkan yang dibutuhkan sanggup menyibak asal permintaan insan di Kepulauan Indonesia.
Manusia Liang Bua ditemukan oleh Peter Brown dan Mike J. Morwood tolong-menolong dengan Tim dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada bulan September 2003 lalu.
Temuan itu dianggap sebagai inovasi spesies gres yang kemudian didiberi nama Homo floresiensis, sesuai dengan tempat ditemukannya fosil Manusia Liang Bua.
Fosil Tengkorak Manusia Purba Flores (kiri; utuh) dan Fosil Geraham Flores (kanan; potongan rahang) |
Pada tahun 1950-an, bergotong-royong Manusia Liang Bua sudah mempersembahkan data-data wacana adanya kehidupan praaksara.
Saat Th. Verhoeven lebih lampau menemukan beberapa fragmen tulang insan di Liang Bua, ia menemukan tulang iga yang berasosiasi dengan aneka macam alat serpih dan gerabah.
Tahun 1965, ditemukan tujuh buah rangka insan beserta beberapa bekal kubur yang antara lain berupa beliung dan barang-barang gerabah.
Diperkirakan Liang Bua ialah sebuah situs neolitik dan paleometalik. Manusia Liang Bua mempunyai ciri tengkorak yang panjang dan rendah, berukuran kecil, dengan volume otak 380 cc.
Kapasitas kranial tersebut berada jauh di bawah Homo erectus (1.000 cc), insan modern Homo sapiens (1.400 cc), dan bahkan berada di bawah volume otak simpanse (450 cc).
Pada tahun 1970, R.P Soejono dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melanjutkan penelitian beberapa kerangka insan yang ditemukan di lapisan atas, temuan itu sebanding dengan temuan-temuan rangka insan sebelumnya.
Hasil temuan itu mengatakan bahwa Manusia Liang Bua secara kronologis mengatakan hunian dari fase zaman Paleolitik, Mesolitik, Neolitik, dan Paleolitik.
Menurut Teuku Jacob, Manusia Liang Bua secara kultural berada dalam konteks zaman Mesolitik, dengan ciri Australomelguasid, yaitu bentuk tengkorak yang memanjang.
Tahun 2003 diadakan penggalian oleh R.P. Soejono dan Mike J. Morwood, berhubungan antara Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan University of New England, Australia.
Penggalian itu menghasilkan temuan berupa sisa insan tidak kurang dari enam individu yang mengatakan aspek morfologis dan postur yang sejenis dengan Liang Bua 1, yang mempunyai kesamaan dengan alat-alat kerikil dan sisa-sisa hewan komodo dan spesies kerdil gajah purba jenis stegodon.
Temuan itu sempat menjadi materi perdebatan terkena status taksonominua, benarkah Manusia Liang Bua itu termasuk dalam spesies baru, yaitu Homo florensiensis, atau sebagai satu jenis spesies yang sudah ada di kalangan genus Homo?
Dalam pengamatan yang lebih mendalam terhadap insan Flores itu, ternyata ada percampuran antara karakter kranial yang cukup menonjol antara karakter Homo erectus dan Homo sapiens.
Seluruh karakter kranio-fasial dari Manusia Liang Bua 1 (LB1) dan Liang Bua 6 (LB6) mengatakan dominasi karakter arkaik yang sering ditemukan pada Homo erectus, walaupun beberapa aspek modern
Homo sapiens juga sangat terlihat jelas.
Namun demikian, karakter Homo sapiens hendaknya dilihat sebagai atribut tingkatan evolusi dalam spesies ini. Bila dikaitkan dengan masa hidup Manusia Liang Bua sekitar 18.000 tahun yang lalu, maka LB 1 dan LB 6 seharusnya dipandang sebagai satu dari variasi Homo sapiens.
Perdebatan Antara Pithecantropus ke Homo Erectus
Penemuan fosil-fosil Pithecanthropus oleh Dubois dihubungkan dengan teori evolusi insan yang dituliskan oleh Charles Darwin.
Charles Darwin |
Harry Widiyanto menuliskan perdebatan itu menyerupai diberikut. Fosil Pithecanthropus oleh Dubois yang dipublikasikan pada tahun 1894 dalam aneka macam majalah ilmiah melahirkan perdebatan.
Dalam publikasinya itu Dubois menyatakan bahwa, berdasarkan teori evolusi Darwin, Pithecanthropus erectus ialah peralihan simpanse ke manusia. Kera ialah moyang manusia.
Pernyatakan Dubois itu kemudian menjadi perdebatan, apakah benar atap tengkorak dengan volume kecil, gigi-gigi berukuran besar, dan tulang paha yang berciri modern itu berasal dari satu individu?
Sementara orang menduga bahwa tengkorak tersebut ialah tengkorak sebuntut gibon, gigi-gigi ialah milik Pongo sp., dan tulang paspesialuntuk milik insan modern?
Lima puluh tahun kemudian terbukti bahwa gigi-gigi tersebut memang berasal dari gigi Pongo Sp., berdasarkan ciri-cirinya yang berukuran besar, akar gigi yang besar lengan berkuasa dan terbuka, dentikulasi yang tidak individual, dan permukaan occulsal yang sangat berkerut-kerut.
Perdebatan itu kemudian berlanjut sampai ke Eropa, ketika Dubois mempresentasikan inovasi tersebut dalam seminar internasional zoologi pada tahun 1895 di Leiden, Belanda, dan dalam ekspo publik British Zoology Society di London.
Sesudah seminar dan ekspo itu banyak mahir yang tidak ingin melihat temuannya itu lagi. Dubois pun kemudian menyimpan tiruana hasil temuannya itu, sampai pada tahun 1922 temuan itu mulai diteliti oleh Franz Weidenreich.
Temuan-temuan Dubois itu menandai munculnya sebuah kajian ilmu paleoantropologi sudah lahir di Indonesia. Tahun 1920-an ialah periode yang luar biasa bagi teori evolusi manusia. Teori itu terus menjadi perdebatan, para mahir paleontologi berbicara wacana ontogenesa dan heterokronis.
Seorang mitra Dubois, Bolk melaksanakan formulasi teori foetalisasi yang sangat terkenal. Dubois sudah melaksanakan inovasi fosil missing-link.
Sementara Bolk menemukan modalitas evolusi dengan menafsirkan bahwa peralihan dari simpanse ke insan terjadi melalui perpantidakboleh perkembangan fetus.
Dubois dan Bolk kemudian bertemu dalam jalur evolutif dari Heackle yang sangat terkenal, bahwa filogenesa dan ontogenesa sama sekali tidak sanggup dipisahkan. Penemuan-penemuan kemudian bertambah gencar semenjak tahun 1927.
Penemuan situs Zhoukoudian di bersahabat Beijing, menghasilkan sejumlah besar fosil-fosil manusia, yang didiberi nama Sinanthropus pekinensis. Tengkorak-tengkorak fosil beserta tulang paha tersebut mengatakan ciri-ciri yang sama dengan Pithecanthropus erectus.
Seorang mahir biologi menyatakan bahwa standar zoologis tidak dimungkinkan memisahkan Pithecantropus erectus dan Sinanthropus pekinensis dengan genus yang tidak sama dengan insan modern.
Pithecanthropus ialah satu tahapan dalam proses evolusi ke arah Homo sapiens dengan kapasitas tengkorak yang kecil. Karena itulah perbedaan itu spesialuntuk perbedaan species bukan perbedaan genus.
Dalam pandangan ini maka Pithecanthrotus erectus harus diletakan dalam genus Homo, dan untuk mempertahankan species aslinya, dinamakan Homo erectus.
Maka berakhirlah debat panjang terkena Pithecanthropus dari Dubois dalam sejarah perkembangan insan yang berjalan puluhan tahun. Saat ini Pithecanthropus diterima sebagai hominid dari Jawa, bab dari Homo erectus. Fosil-fosil temuan di Kedungbrubus Tengkorak Pithecanthropus erectus.
Baca Juga:
Post a Comment for "Mengenal Jenis Insan Purba Meganthropus, Pithecanthropus Erectus-Robustus, Homo Sapiens, Insan Wajak Dan Insan Liang Bua Dari Situs Trinil"