Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ciri-Ciri Perkembangan Politik, Sistem Pemerintahan, Sistem Kepartaian Dan Pemilihan Umum Pada Masa Demokrasi Liberal

Berikut ini akan dibahas terkena perkembangan politik masa demokrasi liberal, masa demokrasi liberal, deskripsi perkembangan pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal, kabinet demokrasi liberal, perkembangan demokrasi liberal, perkembangan politik demokrasi liberal, ciri ciri demokrasi liberal, kabinet wilopo, kabinet natsir, kabinet sukiman, kabinet pada masa demokrasi liberal, sistem pemerintahan demokrasi liberal, 7 kabinet pada masa demokrasi liberal.

Sistem Pemerintahan Masa Demokrasi Liberal

Bangsa kita bersama-sama yaitu bangsa pembelajar. Indonesia hingga dengan tahun 1950an sudah menjalankan dua sistem pemerintahan yang tidak sama, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer. Tidak hingga satu tahun setelah kemerdekaan, sistem pemerintahan presidensial digantikan dengan sistem pemerintahan parlementer. 

Hal ini ditandai dengan pembentukan kabinet parlementer pertama pada November 1945 dengan Syahrir sebagai perdana menteri. Sejak dikala itulah jatuh bangkit kabinet pemerintahan di Indonesia terjadi. Namun pelaksanaan sistem parlementer ini tidak diikuti dengan perubahan UUD. 

Baru pada masa Republik Indonesia Serikat pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh Konstitusi, yaitu Konstitusi RIS. Begitu juga pada masa Demokrasi Liberal, pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh Undang-Undang Dasar Sementara 1950 atau dikenal dengan Konstitusi Liberal. 

Ketika Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, Undang-Undang Dasar yang dipakai sebagai landasan aturan Republik Indonesia bukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, sebagaimana yang diputuskan oleh PPKI pada awal kemerdekaan, namun memakai Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 

Sistem pemerintahan negara berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yaitu sistem parlementer. Artinya Kabinet disusun berdasarkan perimbangan kekuatan kepartaian dalam dewan legislatif dan sewaktu-waktu sanggup dijatuhkan oleh wakil-wakil partai dalam parlemen. 

Presiden spesialuntuk ialah lambang kesatuan saja. Hal ini dinamakan pula Demokrasi Liberal, sehingga kala ini dikenal sebagai zaman Demokrasi Liberal. Sistem kabinet masa ini tidak sama dengan sistem kabinet RIS yang dikenal sebagai Zaken Kabinet.

Salah satu ciri yang nampak dalam masa ini yaitu kerap kali terjadi penggantian kabinet. Mengapa sering kali terjadi pergantian kabinet? Hal ini terutama disebabkan adanya perbedaan kepentingan diantara partai-partai yang ada. 

Perbedaan diantara partai-partai tersebut tidak pernah sanggup terselesaikan dengan baik sehingga dari tahun 1950 hingga tahun 1959 terjadi silih berganti kabinet mulai Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951; Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952; Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953; Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955; Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) 1955-1956; Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-1957 dan Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet) 1957-1959.

Kalau kita perhatikan garis besar perjalanan kabinet di atas, nampak bahwa mula-mula Masyumi didiberi peluang untuk memerintah, kemudian PNI memegang peranan terutama setelah Pemilihan Umum 1955. 

Namun PNI pun tidak bisa bertahan usang lantaran tidak bisa menuntaskan permasalahan yang dihadapi yang alhasil dibuat zaken kabinet di bawah pimpinan Ir. Djuanda.

Kabinet-kabinet tersebut pada umumnya mempunyai kegiatan yang tujuannya sama, yaitu perkara keamanan, kemakmuran dan perkara Irian Barat (saat ini Papua Barat). 

Namun setiap kabinet mempunyai penitikberatan masing-masing, kabinet yang dipimpin Masyumi menekankan pentingnya penyempurnaan pimpinan TNI, sedangkan kabinet yang dipimpin oleh PNI sering menekankan pada perkara hubungan luar negeri yang menguntungkan usaha pembebasan Irian Barat dan pemerintahan dalam negeri.

Apabila kita teliti kabinet-kabinet tersebut satu persatu maka akan nampak hal-hal yang menarikdanunik. Kabinet Natsir (1950-1951), ketika menyusun kabinetnya, Natsir bermaksud menyusun kabinet dengan melibatkan sebanyak mungkin partai supaya kabinetnya mencerminkan sifat nasional dan menerima pinjaman dewan legislatif yang besar. 

Namun pada kenyataannya, Natsir kesusahan membentuk kabinet menyerupai yang diinginkan, terutama kesusahan dalam menempatkan orang-orang PNI dalam kabinet. Sehingga Kabinet Natsir yang terbentuk pada 6 September 1950, tidak melibatkan PNI di dalamnya. PNI menjadi oposisi bersama PKI dan Murba.

Latar belakang perkara dalam pembentukan kabinet sering kali menjadi faktor yang mengakibatkan goyah dan jatuhnya kabinet. Hal ini terlihat ketika Kabient Natsir menjalankan pemerintahannya, kelompok oposisi segera melancarkan Koreksi terhadap jalannya pemerintahan Natsir. 

Kabinet Natsir dihadapkan pada mosi Hadikusumo dari PNI yang menuntut supaya pemerintah mencabut Peraturan Pemerintah No 39 tahun 1950 ihwal pemilihan anggota forum perwakilan daerah. 

Lembaga-lembaga perwakilan tempat yang sudah dibuat atas dasar Peraturan Pemerintah no 39 tahun 1950 oleh Kabinet Hatta, supaya diganti dengan undang-undang yang gres yang bersifat demokratis lantaran dalam PP no 39 dalam menentukan pemilihannya dilakukan secara bertingkat. 

Berdasarkan pemungutan bunyi di parlemen, mosi Hadikusumo menerima pinjaman dari parlemen. Hal ini mengakibatkan menteri dalam negeri mengundurkan diri. Kondisi ini mengakibatkan hubungan kabinet dengan dewan legislatif tidak lancar yang alhasil mengakibatkan Natsir menyerahkan mandatnya kepada Soekarno pada 21 Maret 1951.

Jatuhnya Kabinet Natsir, membuat Presiden Soekarno mengadakan pembicaraan dengan para pemimpin partai untuk menentukan tim formatur kabinet yang kemudian menghasilkan Kabinet Sukiman pada tanggal 26 April 1951. 

Berbeda dengan kabinet sebelumnya yang tidak melibatkan PNI dalam pemerintahannya, kabinet Sukiman berhasil melibatkan PNI di dalamnya, sehingga Kabinet Sukiman didukung oleh dua partai besar, Masyumi dan PNI. Partai-partai pendukung Kabinet Sukiman, melalui menteri-menterinya yang duduk dalam pemerintahan, berusaha merealisasi kegiatan politik masing-masing, meskipun kabinet sudah mempunyai kegiatan kerja tersendiri.

Hal ini ialah benih-benih keretakan yang melemahkan kabinet. Sebagai teladan yaitu Menteri Dalam Negeri Mr. Iskaq (PNI) yang menginstruksikan untuk menonaktifkan DPRD-DPRD yang terbentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 39/ 1950. Selain itu, Iskak juga mengangkat orang-orang PNI menjadi Gubernur Jawa Barat dan Sulawesi. Tindakan ini yang menimbulkan pertikaian politik dan konflik kepentingan.

Kebijakan lain yang menimbulkan perkara dalam hubungan antara pemerintah dan dewan legislatif yaitu ketika Menteri Kehakiman, Muhammad Yamin, membebaskan 950 orang tahanan SOB (Staat Van Oorlog en Beleg, negara dalam keadaan ancaman perang) tanpa persetujuan Perdana Menteri dan anggota kabinet lainnya. 

Kebijakan ini diperihal oleh Perdana Menteri Sukiman dan kalangan militer yang mengakibatkan Muhammad Yamin meletakkan jabatannya sebagai menteri kehakiman. Kondisi Kabinet Sukiman semakin terguncang ketika muncul mosi tidak percaya dari Sunarjo (PNI). 

Munculnya mosi ini berkaitan dengan penanhadiranan perjanjian Mutual Security Act (MSA) antara Menteri Luar Negeri Achmad Subardjo dan Merle Cochran, Duta Besar Amerika Serikat. Hal ini berawal dari Nota Jawaban yang didiberikan Subardjo terhadap Cochran yang meliputi pernyataan bahwa Indonesia bersedia mendapatkan menolongan dari Amerika Serikat berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan dalam MSA. 

Nota Menteri Luar Negeri ini mempunyai kekuatan menyerupai suatu perjanjian internasional. Tindakan Subardjo ini dianggap sebagai suatu langkah budi politik luar negeri yang sanggup memasukkan Indonesia ke dalam lingkungan taktik Amerika Serikat, sehingga menyimpang dari asas politik luar negeri bebas aktif. 

Mosi ini kemudian disusul oleh pernyataan PNI supaya kabinet mengembalikan mandatnya kepada presiden untuk mengatasi kesusahan-kesusahan yang dihadapi. Akhirnya, dengan dilampaui pengunduran diri Achmad Subardjo selaku Menteri Luar Negeri, Sukiman pun kemudian menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 23 Februari 1952. 

Kalau dibandingkan dengan Kabinet Natsir, dalam Kabinet Sukiman terang menyampaikan bahwa partai-partailah yang memegang pemerintahan. Mulai dari menyusun program, portopolio, komposisi personalia, pelaksanaan dan tanggung tanggapan serta cara penyelesaian perkara sepenuhnya terletak ditangan partai. 

Partai-partai yang ada pada waktu itu belum nampak menonjolkan ideologi masing-masing, perhatiannya masih ditujukan pada pemecahan masalah-masalah mudah yang dihadapi. Kemudian Presiden Soekarno mempersembahkan mandat kepada golongan moderat dari PNI sehingga terbentuk kabinet Wilopo pada 30 Maret 1952. 

Kabinet ini menerima pinjaman yang lebih luas dibandingkan dengan kabinet sebelumnya, yaitu dengan masuknya PSI dan PSII dalam pemerintahan. Dukungan ini memperkuat upaya kabinet dalam memperoleh pinjaman lebih banyak didominasi di Parlemen. Kondisi ini menghipnotis iklim politik dalam kabinet dan juga hubungan antarpartai. 

Ikut sertanya PSII dan Parindra dalam pemerintahan, dan lantaran PKI, semenjak Kabinet Amir Syarifuddin, selalu menjadi oposisi, mendukung Kabinet Wilopo, maka Badan Permusyawaratan Partai-partai (PKI, PSII, Perti, Partai Buruh, Partai Murba, Permai, Partai Tani Indonesia, PRN, Parindra, Partai Rakyat Indonesia dan Partai Indo Nasional) kehilangan artinya dan menghentikan kegiatan-kegiatannya. 

melaluiataubersamaini adanya hubungan politik gres ini, mudah berakhirlah aksi-aksi pemogokan yang banyak terjadi pada masa pemerintahan Kabinet Sukiman. Kabinet ini mempunyai kiprah pokok menjalankan persiapan pemilihan umum untuk menentukan anggota dewan legislatif dan anggota konstituante. Namun sebelum kiprah ini sanggup diselesaikan, kabinet ini harus meletakkan jabatannya. Faktor yang menyebabkannya antara lain kejadian 17 Oktober 1952.

Pada dikala itu ada desakan dari pihak tertentu supaya Presiden Soekarno segera membubarkan Parlemen yang tidak lagi mencerminkan keinginan rakyat. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh golongan tertentu dalam tubuh TNI-AD untuk kepentingan sendiri. Kelompok ini tidak menyetujui Kolonel Nasution sebagai KSAD.

Pihak-pihak tertentu dalam dewan legislatif menyokong dan menuntut supaya diadakan perombakan dalam pimpinan Kementrian Pertahanan dan TNI. Ini dianggap oleh pimpinan Tentara Nasional Indonesia sebagai campur tangan sipil dalam urusan militer. Sesudah itu pimpinan Tentara Nasional Indonesia menuntut Presiden membubarkan Parlemen. Namun Presiden menolak tuntutan ini, sehingga KSAD dan KSAP diberhentikan dari jabatannya.

Keberlangsungan Kabinet Wilopo semakin terancam ketika terjadi kejadian Tanjung Morawa. Peristiwa ini terkait dengan pembebasan tanah milik Deli Planters Vereeniging (DPV). Tanah ini sebelumnya sudah digarap penduduk, kemudian diminta untuk dikembalikan kepada DPV. Usaha pembebasan tanah ini menerima perlawanan dari penduduk. 

Karena menghadapi hambatan, pemerintah kemudian memakai alat-alat kekuasaan negara untuk memindahkan penduduk dari lokasi tersebut. Atas perintah Gubernur Sumatera Timur, tanah garapan tersebut kemudian ditraktor oleh polisi yang kemudian mendapatkan perlawanan dari petani yang mengakibatkan kejadian yang menelan korban meninggalnya 5 orang petani. 

Peristiwa ini memunculkan mosi di Parlemen yang menuntut kepada pemerintah supaya menghentikan sama sekali usaha pengosongan tanah yang didiberikan kepada DPV sesuai dengan keputusan Pemerintahan Sukiman dan tiruana tahanan yang terkait dengan kejadian Tanjung Morawa segera dibebaskan. Desakan-desakan ini alhasil membuat Kabinet Wilopo jatuh.

Jatuhnya Wilopo membuat Presiden Soekarno mengalihkan mandatnya ke partai lain, setelah Masyumi dan PNI mengalamai kegagalan. Presiden memutuskan Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR) dan Kabinet terbentuk pada 30 Juli 1953 dengan Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri. 

Kabinet ini bertujuan melanjutkan kiprah Kabinet Wilopo, menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk menentukan anggota Parlemen dan Anggota Dewan Konstituante. Sekalipun kabinet ini berhasil dalam politik luar negeri, yaitu menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika pada April 1955, namun harus meletakkan jabatannya sebelum kiprah utamanya sanggup dilaksanakan. 

Faktor utama yang mengakibatkan jatuhnya kabinet yaitu perkara pimpinan Tentara Nasional Indonesia AD yang berawal pada kejadian 17 Oktober 1952. Calon pimpinan Tentara Nasional Indonesia yang diajukan kabinet ini ditolak oleh korps perwira, kelompok Zulkifli Lubis. sehingga timbul krisis kabinet. Menghadapi problem dalam tubuh TNIAD, Parlemen mengajukan mosi tidak percaya terhadap menteri pertahanan. 

Sebagai dampak dari mosi tersebut, Fraksi Progresif dalam Parlemen menarikdanunik Mr. Iwa Kusumasumantri dari jabatannya sebagai menteri pertahanan pada 12 Juli 1955. Tidak usang berselang setelah itu kabinet alhasil menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada 24 Juli 1955.

Sesudah Kabinet Ali Sastroamidjojo I ditetapkan demisioner, Hatta selaku pejabat Presiden, Presiden Soekarno sedang menunaikan ibadah haji, segera mengadakan pertemuan dengan pimpinan partai untuk menentukan formatur kabinet. 

Formatur kabinet mempunyai kiprah pokok membentuk kabinet dengan pinjaman yang cukup dari dewan legislatif yang terdiri dari orang-orang yang jujur dan disegani. Tuntutan ini kemudian berhasil dipenuhi oleh Burhanuddin Harahap selaku formatur yang ditunjuk oleh Hatta. Pada tanggal 11 Agustus 1955, Kabinet yang dipimpin oleh Burhanuddin Harahap diumumkan. 

Kabinet Burhanuddin Harahap mempunyai kiprah penting untuk menyelenggarakan pemilihan umum. Tugas tersebut berhasil dilaksanakan, meskipun harus melalui rintangan-rintangan yang berat. Pada tanggal 27 September 1955 pemilihan umum untuk menentukan anggota dewan legislatif berhasil dilangsungkan dan pemilihan anggota Dewan Konstituante dilakukan pada 15 Desember 1955. 

Sesudah menuntaskan tugasnya Kabinet Burhanuddin meletakkan jabatannya. Kemudian dibuat suatu kabinet gres berdasarkan kekuatan partai politik yang ada dalam dewan legislatif gres hasil pemilihan umum. 

Selain perkara pemilihan umum, kabinet ini juga berhasil menuntaskan permasalahan dalam tubuh TNI-AD dengan diangkatnya kembali Kolonel Nasution sebagai KSAD pada Oktober 1955. Program lainnya yang berusaha dilaksanakan pada masa kabinet ini yaitu perkara politik luar negeri dan negosiasi perkara Irian Barat.

Perkembangan politik pasca pemilihan umum 1955 menunjukkan tanda renggangnya dwi tunggal Soekarno Hatta. Pada tanggal 1 Desember 1955, Hatta mengundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden. Pengunduran diri Hatta ini ialah reaksi politis atas ketidakcocokan Hatta terhadap pernyataan yang dikeluarkan Presiden Soekarno. 

Dalam salah satu pidatonya Presiden Soekarno menyampaikan bahwa ia akan sangat bangga apabila para pemimpin partai berunding sesamanya dan memutuskan bersama untuk mengubur partai-partai.

Hatta sebagai seorang demokrat masih percaya pada sistem demokrasi yang bercirikan banyak partai. Perbedaan antara Soekarno dan Hatta tidak spesialuntuk muncul pada tahun 1950an, namun semenjak masa pergerakan nasional pun kedua tokoh ini sudah terjadi perbedaan pemikiran. 

Masa usaha untuk mencapai kemerdekaan dan usaha revolusi membawa kedua tokoh ini melupakan perbedaan yang ada sehingga disebut dwi tunggal. Namun, setelah tahun 1950an tampak perbedaan menyangkut perkara demokrasi sudah memecahkan mitos dwi tunggal. 

Sistem demokrasi konstitusional sangat didambakan Hatta sedangkan Soekarno menganggap sistem tersebut tidak cocok untuk bangsa Indonesia. Soekarno yakin bahwa gerakan komunisme bisa dikendalikan, sedangkan Hatta sangat menentang gerakan komunisme dan menganggapnya sebagai ancaman laten yang harus dilenyapkan.

Pergolakan politik dan keadaan keamanan yang semakin memburuk sudah mendorong Soekarno mengeluarkan Konsepsi Presiden pada tanggal 21 Februari 1957. Sejak dikala itu Presiden Soekarno mengabil alih pemerintahan dan mendorong dilaksanakannya Demokrasi Terpimpin, suatu konsep demokrasi yang sangat diidamkan oleh Soekarno namun sangat diperihal oleh Hatta. 

Sikap Hatta ini diungkapkannya dalam tulisannya Demokrasi Kita. Hatta menuliskan bahwa “bagi saya yang usang bertengkar dengan Soekarno ihwal bentuk dan susunan pemerintahan yang efisien ada baiknya didiberikan peluang yang sama dalam waktu yang layak apakah sistem itu akan menjadi suatu sukses atau kegagalan”.

Penunjukkan tim formatur untuk membentuk kabinet setelah Pemilihan Umum 1955 supaya tidak sama dengan sebelumnya. Sesudah Pemilihan Umum 1955, Presiden Soekarno menunjuk partai pemenang pemilu sebagai pembentuk formatur kabinet. PNI yang ditunjuk Soekarno sebagai formatur kabinet mengajukan Ali Sastroamidjojo dan Wilopo calon formatur kabinet. 

Presiden Soekarno kemudian menentukan Ali Sastroamidjojo. Kabinet yang terbentuk diberintikan koalisi PNI, Masyumi dan NU. Dalam pembentukan kabinet tidak ada kesusahan yang prinsipil. Koalisi yang terbentuk memunculkan pertanyaan mengapa PKI yang menduduki peringkat keempat pemilu tidak disertakan. Hal ini lantaran Masyumi menolak masuknya PKI dalam kabinet. 

Pada waktu formatur menyerahkan susunan kabinet kepada Presiden Soekarno untuk disetujui, Presiden tidak pribadi menyetujui. Ia kecewa dengan susunan kabinet yang akan dibuat yang tidak melibatkan PKI. Presiden menghendaki masuknya PKI dalam kabinet. 

Namun kehendak Presiden tidak bisa diterima oleh formatur lantaran susunan kabinet yang dibuat ialah hasil persetujuan dari partai-partai yang akan berkoalisi. Menyikapi hal tersebut, Presiden Soekarno kemudian berusaha mendesak para tokoh partai PNI, Masyumi, NU dan PSII supaya mau mendapatkan wakil PKI atau pun simpatisannya untuk duduk dalam kabinet. 

Namun kehendak Presiden Soekarno tersebut tidak bisa diterima oleh tokoh-tokoh dari ketiga partai tersebut. Presiden Soekarno pun alhasil menyetujui susunan kabinet yang sudah disusun oleh tim formatur, dengan memasukkan Ir. Djuanda dalam kabinet. 

Pada tanggal 20 Maret 1956, kabinet koalisi nasionalis-Islam dengan Ali Sastroamijdojo selaku Perdana Menteri. Kabinet ini dikenal sebagai Kabinet Ali II (1956-1957). Kabinet Ali II ialah kabinet pertama yang mempunyai Rencana Lima Tahun yang antara lain isinya meliputi beberapa aspek perkara Irian Barat, perkara otonomi daerah, perkara perbaikan nasib buruh, penyehatan keuangan dan pembentukan ekonomi keuangan.

Dalam menjalankan programnya Kabinet Ali II muncul banyak sekali peristiwa-peristiwa gres antara lain gagal memaksa Belanda untuk menyerahkan Irian Barat yang alhasil membatalkan perjanjian KMB. Munculnya perkara anti Cina diantara kalangan rakyat yang kurang bahagia melihat kedudukan istimewa golongan ini dalam perdagangan. Selain itu mulai meningkatnya perilaku kritis tempat terhadap pusat.

Kondisi ini mendorong lemahnya Kabinet Ali yang dibuat berdasarkan hasil pemilihan umum pertama. Peristiwa-peristiwa di atas membuat kewibawaan Kabinet Ali Sastroamidjojo semakin turun. Kurangnya tindakan tegas dari kabinet terhadap pergolakan yang muncul membuat Ikatan Pembela Kemerdekaan Indonesia (IPKI) dan Masyumi menarikdanunik para menterinya dari kabinet. 

Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyelamatkan kabinet oleh Ali Sastro dan Idham Khalid, namun tidak berhasil. Ali alhasil menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 14 Maret 1957. 

Demisionernya Kabinet Ali II dan munculnya gerakan-gerakan separatis di daerah-daerah membuat Presiden Soekarno mengumumkan berlakunya Undang-undang negara dalam keadaan darurat perang atau State van Oorlog en Beleg (SOB) di seluruh Indonesia. Keadaan ini membuat angkatan perang mempunyai wewenang khusus untuk mengamankan negara.

Menyikapi situasi jatuh bangunnya kabinet, Soekarno melalui amanat proklamasi 17 Agustus 1957 menyatakan bahwa:

“Sistem politik yang terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia! Ya, positif demokrasi yang hingga kini ini kita praktikan di Indonesia, bukan satu sistem politik terbaik dan tercocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia! Nyata kita dengan apa yang kita namakan dengan demokrasi itu, tidak menjadi makin berpengaruh dan makin sentosa, melainkan menjadi makin rusak dan makin retak, makin bubrah dan makin bejat. (Presiden Soekarno, Amanat Proklamasi III, 1956-1960, Inti Idayu Press dan Yayasan Pendidikan Soekarno, 1986).

Untuk mewujudkan keinginan tersebut, pada tanggal 21 Februari 1957 Presiden Soekarno mengundang ke Istana Negara para tokoh partai dari tingkat tempat hingga pusat, dan tokoh militer untuk mendengarkan pidatonya yang dikenal dengan Konsepsi Presiden. 

Konsepsi tersebut bertujuan untuk mengatasi dan menuntaskan krisis kewibawaan kabinet yang sering dihadapi dengan dibentuknya kabinet yang anggotanya terdiri dari 4 partai pemenang pemilu dan dibentuknya Dewan Nasional yang anggotanya dari golongan fungsional dalam masyarakat. 

Sayangnya gagasan ini dikeluarkan tanpa terlebih lampau ada pemdiberitahuan kepada kabinet yang tengah mengalami perkara yang cukup berat. Presiden Soekarno menyatakan bahwa demokrasi liberal yang dijalankan di Indonesia tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, dan ialah demokrasi impor. 

Ia ingin menggantinya dengan demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, yang disebutnya dengan Demokrasi Terpimpin. Konsepsi presiden ini menuai perdebatan yang cukup sengit baik di dewan legislatif maupun di luar parlemen.

Usaha Presiden Soekarno untuk menghipnotis partai-partai supaya mau membentuk kabinet berkaki empat alhasil gagal. Kaum politisi dan partaipartai tetap mau melaksanakan politik “dagang sapi”, yaitu tawar menawar kedudukan untuk membentuk kabinet koalisi. 

Akhirnya, Presiden menunjuk dirinya sendiri, “Dr. Ir. Soekarno, masyarakat negara, sebagai formatur untuk membentuk kabinet ekstraparlementer yang akan bertindak tegas dan yang akan memmenolong Dewan Nasional sesuai konsepsi Presiden. 

Soekarno berhasil membentuk Kabinet Karya dengan Ir. Djuanda, tokoh yang tidak berpartai, sebagai Perdana Menteri dengan tiga wakil perdana menteri masing-masing dari PNI, NU dan Parkindo. Kabinet ini resmi dilantik pada 9 April 1957 dan dikenal dengan nama Kabinet Karya. Kabinet ini tidak menyertakan Masyumi di dalamnya.

Kabinet Djuanda ialah Zaken Kabinet dengan beban kiprah yang harus dijalankan yaitu usaha membebaskan Irian Barat, dan menghadapi keadaan ekonomi dan keuangan yang memburuk. 

Kabinet Djuanda untuk menuntaskan tugasnya menyusun kegiatan kerja yang terdiri dari lima pasal yang dikenal dengan Panca Karya, sehingga kabinetnya pun dikenal sebagai Kabinet Karya. Kelima kegiatan tersebut meliputi:
  1. Membentuk Dewan
  2. Normalisasi keadaan Republik
  3. Melancarkan pelaksanaan peniadaan KMB
  4. Perjuangan Irian
  5. Mempergiat pembangunan
Dewan Nasional ialah amanat dari Konsepsi Presiden 1957. Dewan ini mempunyai fungsi menampung dan menyalurkan keinginan-keinginan kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat dan juga sebagai penasihat pemeritah untuk melancarkan roda pemerintahan dan menjaga stabilitas politik untuk mendukung pembangunan negara. 

Dewan ini dipimpin pribadi oleh Presiden Soekarno yang anggota-anggotanya terdiri dari golongan fungsional. Untuk menormalisasi keadaan yang diakibatkan oleh pergolakan daerah, Kabinet Djuanda pada 10-14 September 1957 melangsungkan Musyawarah Nasional (Munas) yang dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional dan daerah, diantaranya yaitu mantan Presiden Mohammad Hatta. 

Musyawarah ini dilaksanakan di gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56. Musyawarah ini mengulas permasalahan-permasalahan pemerintahan, problem daerah, ekonomi, keuangan, angkatan perang, kepartaian serta perkara Dwitunggal Soekarno Hatta.

Musyawarah ini kemudian menghasilkan keputusan yang mencerminkan suasana saling pengertian. Pada simpulan kegiatan Munas dibacakan pernyataan bersama yang ditanhadirani oleh Soekarno Hatta yang bunyinya antara lain bahwa:

“... yaitu kewajiban mutlak kami untuk turut serta dengan seluruh rakyat Indonesia, pemerintah RI serta segenap alat-alat kekuasaan negara, membina dan membela dasar-dasar proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dalam kedudukan apa pun juga adanya”. (Sketsa Perjalanan Bangsa
Berdemokrasi, Dep.Kominfo, 2005)

Untuk menindaklanjuti hasil Munas, dan dalam upaya untuk mempergiat pembangunan dilaksanakan Musyawarah Nasional Pembangunan. Musyawarah ini bertujuan khusus untuk mengulas dan merumuskan usahausaha pembangunan sesuai dengan keinginan daerah. 

Oleh lantaran itu, kegiatan ini dihadiri juga oleh tokoh-tokoh sentra dan tempat serta tiruana pemimpin militer dari seluruh teritorium, kecuali Letkol. Achmad Husein dari Komando Militer Sumatera Tengah. Perlu kalian ketahui bahwa pada masa Demokrasi Parlementer ini luas wilayah Indonesia tidak seluas wilayah Indonesia dikala ini. 

Karena Indonesia masih memakai peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa:

laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan pecahan pulau yang ialah pecahan dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”

Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia terang merasa dirugikan, lebar bahari 3 mil dirasakan tidak cukup menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara. Batas 3 mil dari daratan mengakibatkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia. 

Hal ini mengakibatkan kapal-kapal ajaib bebas mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. Kondisi ini akan menyulitkan Indonesia dalam melaksanakan pengawasan wilayah Indonesia. Sebagai suatu negara yang berdaulat Indonesia berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia. 

Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan aturan teritorial kelautan nusantara yang berbunyi:

Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau skema pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya yaitu bagian-bagian yang masuk akal daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian ialah pecahan dari pada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik Indonesia. Lalu lintas yang hening di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal ajaib dijamin selama dan sekedar tidak berperihalan dengan/ menganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. (Sumber: Hasjim Djalal, 2006).

Dari deklarasi tersebut sanggup kita lihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan ialah aspek penting, bahkan sanggup dikatakan ialah salah satu sendi pokok budi pemerintah terkena perairan Indonesia. 

Dikeluarkannya deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia yaitu bisa menyatukan wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari bahari bisa dimanfaatkan dengan terbaik. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.

Deklarasi Djuanda mengandung konsep bahwa tanah air yang tidak lagi memandang bahari sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, menyerupai pada masa kolonial, namun harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan nasional. Deklarasi Djuanda membuat batas kontinen bahari kita diubah dari 3 mil batas air terendah menjadi 12 mil dari batas pulau terluar. 

Kondisi ini membuat wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari sebelumnya spesialuntuk 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2 tanpa memasukan wilayah Irian Barat, lantaran wilayah itu belum diakui secara internasional. 

Hal ini berdampak pula terhadap titik-titik pulau terluar yang menjadi garis batas yang mengelilingi RI menjadi sepanjang 8.069,8 mil laut. Meskipun Deklarasi Djuanda belum memperoleh pengukuhan internasional, pemerintah RI kemudian memutuskan deklarasi tersebut menjadi UU No. 4/PRP/1960 ihwal perairan Indonesia.

Dikeluarkannya Deklarasi Djuanda membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi landasan aturan bahari Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian perkara aturan bahari ini, pemerintah Indonesia melaksanakan harmonisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga.

Selain itu Indonesia juga melalui konferensi Jeneva pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai Archipelagic State Principle atau negara kepulauan.

Deklarasi Djuanda ini gres bisa diterima di dunia internasional setelah diputuskan dalam Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982). 

Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasinya dalam UU No.17/ 1985 ihwal pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia yaitu negara kepulauan. Sesudah diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima tahun, alhasil pada 16 November 1994, setelah diratifikasi oleh 60 negara, aturan bahari Indonesia diakui oleh dunia internasional. 

Upaya ini tidak lepas dari usaha hero diplomasi kita, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia mengikuti banyak sekali konferensi ihwal aturan bahari yang dilaksanakan PBB dari tahun 1970an hingga tahun 1990an. 

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tanggal 13 Desember dicanangkan sebagai hari Nusantara dan ketika masa Presiden Megawati dikeluarkan keputusan Presiden No. 126/2001 ihwal hari Nusantara dan tanggal 13 resmi menjadi hari perayaan nasional.

Sistem Kepartaian

Partai politik ialah suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan impian yang sama. Tujuan dibentuknya partai politik yaitu untuk memperoleh, merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Makara munculnya partai politik dekat kaitannya dengan kekuasaan.

Paska proklamasi kemerdekaan, pemerintahan RI memerlukan adanya forum dewan legislatif yang berfungsi sebagai perwakilan rakyat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945. Keberadaan parlemen, dalam hal ini dewan perwakilan rakyat dan MPR, tidak terlepas dari kebutuhan adanya perangkat organisasi politik, yaitu partai politik. 

Berkaitan dengan hal tersebut, pada 23 Agustus 1945 Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Partai Nasional Indonesia sebagai partai tunggal, namun keinginan Presiden Soekarno tidak sanggup diwujudkan. Gagasan pembentukan partai gres muncul lagi ketika pemerintah mengeluarkan maklumat pemerintah pada tanggal 3 November 1945. 

Melalui maklumat inilah gagasan pembentukan partai-partai politik dimunculkan kembali dan berhasil membentuk partai-partai politik baru. Diantara partai-partai tersebut tergambar dalam skema diberikut ini:
 Berikut ini akan dibahas terkena perkembangan politik masa demokrasi liberal Ciri-Ciri Perkembangan Politik, Sistem Pemerintahan, Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum Pada Masa Demokrasi Liberal
Sistem kepartaian yang dianut pada masa demokrasi liberal yaitu multi partai. Pembentukan partai politik ini berdasarkan Mohammad Hatta supaya megampangkan dalam mengontrol usaha lebih lanjut. 

Hatta juga sebut bahwa pembentukan partai politik ini bertujuan untuk mudah sanggup mengukur kekuatan usaha kita dan untuk mempergampang meminta tanggung tanggapan kepada pemimpin-pemimpin barisan perjuangan. 

Walaupun pada kenyataannya partai-partai politik tersebut cenderung untuk memperjuangkan kepentingan golongan dari pada kepentingan nasional. Partai-partai politik yang ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling menjatuhkan.

Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan penting dalam dewan legislatif sering melaksanakan oposisi yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik yang memerintah.

Hal inilah yang mengakibatkan pada kala ini sering terjadi pergantian kabinet, kabinet tidak berumur panjang sehingga program-programnya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya yang mengakibatkan terjadinya instabilitas nasional baik di bidang politik, sosial ekonomi dan keamanan.

Kondisi inilah yang mendorong Presiden Soekarno mencari solusi untuk membangun kehidupan politik Indonesia yang alhasil membawa Indonesia dari sistem demokrasi liberal menuju demokrasi terpimpin.

Pemilihan Umum 1955

Pelaksanaan pemilihan umum 1955 bertujuan untuk menentukan wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam dewan legislatif dan dewan Konstituante. Pemilihan umum ini diikuti oleh partai-partai politik yang ada serta oleh kelompok perorangan. 

Pemilihan umum ini bersama-sama sudah dirancang semenjak kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah pada 31 Mei 1954. Namun pemilihan umum tidak dilaksanakan pada masa kabinet Ali I lantaran terlanjur jatuh. 

Kabinet pengganti Ali I yang berhasil menjalankan pemilihan umum, yaitu kabinet Burhanuddin Harahap. Pelaksanaan Pemilihan Umum pertama dibagi dalam 16 tempat pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2139 kecamatan dan 43.429 desa. Pemilihan umum 1955 dilaksanakan dalam 2 tahap. 

Tahap pertama untuk menentukan anggota dewan legislatif yang dilaksanakan pada 29 September 1955 dan tahap kedua untuk menentukan anggota Dewan Konstituante (badan pembuat Undang-undang Dasar) dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Pada pemilu pertama ini 39 juta rakyat Indonesia mempersembahkan suaranya di kotak-kotak suara. 

Pemilihan umum 1955 ialah tonggak demokrasi pertama di Indonesia. Keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum ini membuktikan sudah berjalannya demokrasi di kalangan rakyat. Rakyat sudah memakai hak pilihnya untuk menentukan wakil-wakil mereka. 

Banyak kalangan yang menilai bahwa pemilihan umum 1955 ialah pemilu yang paling demokratis yang dilaksanakan di Indonesia. Presiden Soekarno dalam pidatonya di Istana Negara dan Parlemen pada 17 Agustus 1955 menegaskan bahwa “pemilihan umum tidakboleh diundurkan barang sehari pun, lantaran pada pemilihan umum itulah rakyat akan menentukan hidup kepartaian kita yang tidak sewajarnya lagi, rakyatlah yang menjadi hakim”.

Penegasan ini dikeluarkan lantaran terdapat suara-suara yang mewaspadai terlaksananya pemilu sesuai dengan kegiatan tiruanla. Dalam proses pemilihan umum 1955 terdapat 100 partai besar dan kecil yang mengajukan calon-calonnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 82 partai besar dan kecil untuk Dewan Konstituante. 

Selain itu masih ada 86 organisasi dan perseorangan akan ikut dalam pemilihan umum. Dalam registrasi pemilihan tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia yang mendaftarkan namanya (kurang lebih 78 juta), angka yang cukup tinggi yang ikut dalam pesta demokrasi yang pertama. (Feith, 1999).

Pemilihan umum untuk anggota dewan perwakilan rakyat dilaksanakan pada tanggal 29 September 1955. Hasilnya diumumkan pada 1 Maret 1956. Urutan perolehan bunyi terbanyak yaitu PNI, Masyumi, Nahdatul Ulama dan PKI. Empat perolehan bunyi terbanyak memperoleh dingklik sebagai diberikut :
 Berikut ini akan dibahas terkena perkembangan politik masa demokrasi liberal Ciri-Ciri Perkembangan Politik, Sistem Pemerintahan, Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum Pada Masa Demokrasi Liberal
Pemilihan Umum 1955 menghasilkan susunan anggota dewan perwakilan rakyat dengan jumlah anggota sebanyak 250 orang dan dilantik pada tanggal 24 Maret 1956 oleh Presiden Soekarno. Acara peresmian ini dihadiri oleh anggota dewan perwakilan rakyat yang usang dan menteri-menteri Kabinet Burhanudin Harahap. 

melaluiataubersamaini terbentuknya dewan perwakilan rakyat yang gres maka berakhirlah masa kiprah dewan perwakilan rakyat yang usang dan penunjukkan tim formatur dilakukan berdasarkan jumlah bunyi terbanyak di DPR. Pemilihan Umum 1955 selain menentukan anggota dewan perwakilan rakyat juga menentukan anggota Dewan Konstituate. Pemilihan Umum anggota Dewan Konstituante dilaksanakan pada 15 Desember 1955. 

Dewan Konstituante bertugas untuk membuat Undang-undang Dasar yang tetap, untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Hal ini sesuai dengan ketetapan yang tercantum dalam pasal 134 Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Undang-undang Dasar) bersama-sama pemerintah selekaslekasnya memutuskan Undang-undang Dasar Republik Indonesia yang akan
menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini”.

Berdasarkan hasil pemilihan tanggal 15 Desember 1955 dan diumumkan pada 16 Juli 1956, perolehan bunyi partai-partai yang mengikuti pemilihan anggota Dewan Konstituante urutannya tidak jauh tidak sama dengan pemilihan anggota legislatif, empat besar partainya yaitu PNI, Masyumi, NU dan PKI.
 Berikut ini akan dibahas terkena perkembangan politik masa demokrasi liberal Ciri-Ciri Perkembangan Politik, Sistem Pemerintahan, Sistem Kepartaian dan Pemilihan Umum Pada Masa Demokrasi Liberal
Keanggotaaan Dewan Konstituante terdiri dari anggota hasil pemilihan umum dan yang diangkat oleh pemerintah. Pemeritah mengangkat anggota Konstituate jikalau ada golongan penduduk minoritas yang turut dalam pemilihan umum tidak memperoleh jumlah dingklik sejumlah yang diputuskan dalam Undang-Undang Dasar S 1950. Kelompok minoritas yang diputuskan jumlah dingklik minimal yaitu golongan Cina dengan 18 kursi, golongan Eropa dengan 12 dingklik dan golongan Arab 6 kursi.

Dalam sidang-sidang Dewan Konstituante yang berlangsung semenjak tahun 1956 hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak menghasilkan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar S 1950. Dewan memang berhasil menuntaskan bagian-bagian dari rancangan UUD, namun terkait dengan perkara dasar negara, Dewan Konstituante tidak berhasil menuntaskan perbedaan yang fundamental diantara proposal dasar negara yang ada.

Pembahasan terkena dasar negara mengalami banyak kesusahan lantaran adanya konflik ideologis antar partai. Dalam sidang Dewan Konstituante muncul tiga proposal dasar negara yang diusung oleh partai-partai; Pertama, Dasar negara Pancasila diusung antara lain oleh PNI, PKRI, Permai, Parkindo, dan Baperki; Kedua, Dasar negara Islam diusung antara lain oleh Masyumi, NU dan PSII; Ketiga, Dasar negara Sosial Ekonomi yang diusung oleh Partai Murba dan Partai Buruh. 

Ketiga proposal dasar negara ini kemudian mengerucut menjadi dua proposal Pancasila dan Islam lantaran Sosial ekonomi tidak memperoleh pinjaman bunyi yang mencukupi, spesialuntuk sembilan suara.

Dalam upaya untuk menuntaskan perbedaan pendapat terkait dengan perkara dasar negara, kelompok Islam mengusulkan kepada pendukung Pancasila ihwal kemungkinan dimasukannya nilai-nilai Islam ke dalam Pancasila, yaitu dimasukkannya Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai pembukaan undang-undang dasar yang baru. Namun proposal ini ditolak oleh pendukung Pancasila. 

Semua upaya untuk mencapai kesepakatan diantara dua kelompok menjadi kandas dan hubungan kedua kelompok ini semakin tegang. Kondisi ini membuat Dewan Konstituante tidak berhasil menuntaskan pekerjaannya hingga pertengahan 1958. 

Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno dalam amanatnya di depan sidang Dewan Konstituante mengusulkan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Konstituante harus mendapatkan Undang-Undang Dasar 1945 apa adanya, baik pembukaan maupun batang tubuhnya tanpa perubahan.

Menyikapi proposal Presiden, Dewan Konstituante mengadakan musyawarah dalam bentuk pemandangan umum. Dalam sidang-sidang pemandangan umum ini Dewan Konstituante pun tidak berhasil mencapai kuorum, yaitu dua pertiga bunyi dari jumlah anggota yang hadir. 

Tiga kali diadakan pemungutan bunyi tiga kali tidak mencapai kourum, sehingga ketua sidang memutuskan tidak akan mengadakan pemungutan bunyi lagi dan disusul dengan masa reses (masa tidak bersidang). Ketika memasuki masa sidang diberikutnya beberapa fraksi tidak akan menghadiri sidang lagi. 

Kondisi inilah mendorong suasana politik dan psikologis masyarakat menjadi sangat genting dan peka. Kondisi ini mendorong KSAD, Jenderal Nasution, selaku Penguasa Perang Pusat (Peperpu) dengan persetujuan dari Menteri Pertahanan sekaligus Perdana Menteri Ir. Djuanda, melarang sementara tiruana kegiatan politik dan menunda tiruana sidang Dewan Konstituante.

Presiden Soekarno mencoba mencari jalan keluar untuk menuntaskan permasalahan yang ada dengan mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh pemerintahan, anggota Dewan Nasional, Mahkamah Agung dan pimpinan Angkatan Perang di Istana Bogor pada 4 Juli 1959. 

Hasil dari pembicaraan itu esok harinya, Minggu 5 Juli 1959, Presiden Soekarno memutuskan Dekrit Presiden 1959 di Istana Merdeka. 

Isi pokok dari Dekrit Presiden tersebut yaitu membubarkan Dewan Konstituante, menyatakan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 dan menyatakan tidak berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Dekrit juga sebut akan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Sumber http://www.kuttabku.com

Post a Comment for "Ciri-Ciri Perkembangan Politik, Sistem Pemerintahan, Sistem Kepartaian Dan Pemilihan Umum Pada Masa Demokrasi Liberal"