Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Negosiasi Hooge Veluwe, Linggarjati, Renville, Roem Royen, Konferensi Inter Indonesia, Konferensi Meja Bulat (Kmb) Dan Legalisasi Kedaulatan

Berikut ini akan kita bahas ihwal Perundingan Hooge Veluwe, negosiasi linggarjati, aksi militer belanda i, negosiasi renville, aksi militer belanda ii, serangan umum 1 maret 1949, negosiasi roem royen, konferensi inter indonesia, konferensi meja bundar, kmb, dan juga insiden legalisasi kedaulatan atas Indonesia.

Aktifitas Diplomasi Untuk Mempertahankan Kemerdekaan

Salah satu taktik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yaitu dengan cara melaksanakan acara diplomasi. Aktivitas usaha melalui cara diplomasi yang dilakukan antara lain sebagai diberikut.

1. Perundingan Hooge Veluwe

Perundingan Hooge Veluwe ialah lanjutan pembicaraan-pembicaraan yang didasarkan atas persetujuan yang sudah disahkan antara Sutan Syahrir dan Van Mook.

Kesepakatan itu tertuang dalam permintaan pemerintah Indonesia tanggal 27 Maret 1946. Perundingan itu diadakan di kota Hooge Valuwe, Belanda tanggal 14 - 25 April 1946.

Delegasi yang hadir dalam negosiasi Hooge Veluwe.
  • Delegasi Belanda terdiri dari: Perdana Menteri Prof. Ir. Dr. W. Schermerhorn, Menteri Daerah-daerah Seberang Lautan Prof. Dr. J.H. Logemann, Menteri Luar Negeri Dr. J.H. van Roijen, Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. Van Mook, Prof. Baron van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Letkol Surio Santoso.
  • Delegasi Republik Indonesia terdiri dari Menteri Kehakiman Mr. Suwandi, Menteri Dalam Negeri Dr. Sudarsono, dan Sekretaris Kabinet Mr. A.G. Pringgodigdo.
  • Pihak mediator Sir Archibald Clark Keer beserta stafnya.
Dalam negosiasi ini Belanda spesialuntuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara de facto atas Jawa dan Madura.

melaluiataubersamaini demikian negosiasi ini tidak memdiberi kemajuan bagi RI, balasannya negosiasi ini dianggap gagal.

2. Perundingan Linggajati (10 November 1946 - 25 Maret 1947)

Lord Killearn balasannya berhasil membawa wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja negosiasi yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1946. 

Delegasi Republik Indonesia dalam negosiasi tersebut diketuai oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir, sementara Belanda diwakili oleh suatu komisi umum yang dikirim dari negeri Belanda di bawah pimpinan Prof. Schermerhorn. 

Dalam negosiasi tersebut masalah gencatan senjata yang sudah gagal dalam negosiasi pada tanggal 30 September 1946, disetujui untuk dibicarakan lebih lanjut dalam tingkat panitia yang juga diketuai oleh Lord Killearn. 

Dari pihak Indonesia dalam panitia tersebut duduk Perdana Menteri Sjahrir sendiri, sedangkan utusan Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn.

Perundingan tingkat panitia balasannya menghasilkan persetujuan gencatan senjata yang isinya sebagai diberikut.
  • Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
  • Dibentuk sebuah Komisi Bersama Gencatan Senjata, untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Sebagai kelanjutan perundingan-perundingan sebelumnya, semenjak tanggal 10 November 1946 di Linggajati akrab Cirebon, dilangsungkan negosiasi antara pemerintah Republik Indonesia dengan komisi umum Belanda. 

Perundingan ini yang dipimpin pula oleh Lord Killearn, menghasilkan suatu persetujuan. Pada tanggal 15 November 1946, naskah persetujuan tersebut diparaf oleh kedua belah pihak. Pokok-pokok isi persetujuan yaitu sebagai diberikut.
  • Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harus meninggalkan kawasan de facto paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
  • Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya yaitu Republik Indonesia.
  • Republik Indonesia serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya.
Sesudah melalui perdebatan sengit di dalam masyarakat dan dalam lingkungan KNIP, balasannya pada tanggal 25 Maret 1947 persetujuan Linggarjati ditanhadirani di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta.

Tokoh-tokoh yang menanhadirani persetujuan.
  • Indonesia : Sutan Syahrir, Moh Roem, Mr. Susanti Tirtoprojo, dan dr.A.K.Gani.
  • Belanda : Schermerhorn, Van Mook, dan Van Poll.

3. Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947)

Perbedaan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati, menjadikan korelasi Indonesia – Belanda cenderung menuntut antara lain ibarat diberikut.
  • Menempatkan Indonesia sebagai negara commonwealth (persemakmuran) dan akan berbentuk federasi, sedangkan korelasi luar negerinya diurus Belanda.
  • Agar segera diadakan gendarmerie (pasukan keamanan) bersama.
Tuntutan Belanda tersebut ditolak oleh Indonesia. Akibatnya pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda I. 

Dalam agresinya Belanda berusaha menguasai kota-kota penting di Indonesia. Rakyat Indonesia pun tidak tinggal diam, dengan peralatan sederhana segera melancarkan perang gerilya. 

Sementara aksi sedang berlangsung, pesawat Dakota yang membawa obat-obatan dari Singapura pada tanggal 29 Juli 1947 jatuh ditembak oleh pesawat Belanda di Yogyakarta. 

Dalam insiden tersebut gugurlah Komodor Muda Udara Adi Sucipto, Komodor Muda Udara Dr. Abdurrahman Saleh, dan Opsir Muda Udara I Adi Sumarmo Wiryokusumo.

4. Perundingan Renville (8 Desember - 17 Januari 1948)

Agresi Militer Belanda I menerima reaksi keras dari dunia internasional, khususnya dalam lembaga PBB. Dalam rangka usaha penyelesaian damai, maka Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN). Negara-negara anggota KTN yaitu:
  • Australia (pilihan Indonesia) diwakili oleh Richard Kirby
  • Belgia (pilihan Belanda) diwakili oleh Paul van Zeeland
  • Amerika Serikat (pilihan Indonesia dan Belanda) diwakili oleh Frank Graham.
Untuk melaksanakan kiprah yang dibebankan oleh Dewan keamanan PBB, dalam pertemuannya di Sidney pada tanggal 20 Oktober 1947 KTN memutuskan bahwa kiprah mereka di Indonesia yaitu untuk memmenolong menuntaskan sengketa antara Republik Indonesia dan Belanda dengan cara damai.

 Berikut ini akan kita bahas ihwal Perundingan Hooge Veluwe Sejarah Perundingan Hooge Veluwe, Linggarjati, Renville, Roem Royen, Konferensi Inter Indonesia, Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Pengakuan Kedaulatan
Suasana Perundingan Renville
Kemudian KTN berusaha mendekatkan kedua belah pihak guna menuntaskan persoalan-persoalan militer dan politik yang sanggup mempersembahkan dasar bagi negosiasi selanjutnya. 

Diambil pula perilaku bahwa dalam masalah militer KTN akan mengambil inisiatif, sedangkan untuk pemecahan masalah-masalah politik KTN spesialuntuk mempersembahkan usul. 

Masalah pertama yang timbul yaitu terkena tempat perundingan. Belanda mengusulkan Jakarta, tetapi ditolak oleh Republik Indonesia yang menginginkan suatu tempat yang berada di luar kawasan pendudukan. 

Atas permintaan KTN, negosiasi dilakukan di atas sebuah kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville” yang berlabuh di teluk Jakarta.

Delegasi yang hadir dalam perjanjian Renville.
  • Delegasi Republik Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin.
  • Delegasi Belanda dipimpin oleh Abdulkadir Wijoyoatmojo, orang Indonesia yang memihak Belanda.
Perundingan Renville menghasilkan kesepakatan sebagai diberikut.
  • Penghentian tembak-menembak.
  • Daerah-daerah di belakang garis Van Mook harus dikosongkan dari pasukan RI.
  • Belanda bebas membentuk negara-negara federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan melalui plebisit terlebih lampau.
  • Dalam Uni Indonesia- Belanda, negara Indonesia Serikat akan sederajat dengan Kerajaan Belanda.

5. Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948)

sepertiyang negosiasi sebelumnya, dalam Perundingan Renville Belanda juga mengingkarinya dengan jalan melancarkan Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948. 

Tindakan tidak terpuji yang dilakukan Belanda yaitu menyerbu Lapangan Terbang Maguwo di Yogyakarta. Akibatnya seluruh kota Yogyakarta dikuasai oleh Belanda.

Dalam situasi darurat, Presiden Sukarno memerintahkan kepada Syafrudin Prawirguagara yang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat untuk membentuk pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). 

Tujuan dibentuknya PDRI yaitu biar kelangsungan hidup pemerintah Republik Indonesia tetap terpelihara, tertib, dan lancar.

6. Serangan Umum 1 Maret 1949

Sesudah terjadi Agresi Militer II pada bulan Desember 1948, Tentara Nasional Indonesia/ Tentara Nasional Indonesia mulai melaksanakan konsolidasi untuk menyerang Belanda. Puncak serangan Tentara Nasional Indonesia itu terjadi pada 1 Maret 1949.

Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta dipimpin oleh Letkol. Soeharto. Ternyata serangan tersebut berhasil menguasai kota Yogyakarta selama 6 jam. 

melaluiataubersamaini demikian Serangan Umum membawa efek atau akibat.

a. Pengaruh ke dalam negeri
  • Mendukung usaha diplomasi.
  • Meningkatkan semangat Tentara Nasional Indonesia yang berjuang di kawasan lain.
b. Pengaruh ke luar negeri
  • Mematahkan semangat pasukan Belanda.
  • Menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia masih bisa melaksanakan ofensif (serangan).

7. Perundingan Roem – Royen

Atas prakarsa komisi PBB untuk Indonesia atau UNCI/United Nations Comissions for Indonesia, Indonesia-Belanda berhasil dibawa ke meja negosiasi yang disebut Perundingan Roem-Royen.

Delegasi yang hadir pada negosiasi tersebut.
  • Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Rum.
  • Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. Van Royen.
Pada tanggal 17 April dimulailah negosiasi penlampauan di Jakarta yang diketuai oleh Merle Cohran, wakil Amerika Serikat dalam UNCI. 

Dalam perundingan-perundingan selanjutnya delegasi Indonesia diperkuat oleh Drs. Moh. Hatta dan Sri Sultan hamengkubuwono IX.

Sesudah melalui negosiasi yang berlarut-larut, balasannya pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan, yang kemudian dikenal dengan nama “Roem-Royen Statements”. Isi persetujuan itu yaitu sebagai diberikut.

a. Delegasi Indonesia menyatakan kesediaan Pemerintah Republik Indonesia untuk:
  • mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya
  • bekerja sama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan
  • turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat
b. Pernyataan Belanda pada pokoknya mencakup:
  • menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta
  • menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan tiruana tahanan politik
  • tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di kawasan yang dikuasai oleh RI sebelum 19 Desember 1948, dan tidak akan meluaskan negara atau kawasan dengan merugikan Republik
  • menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai pecahan dari Negara Indonesia Serikat
  • berusaha dengan sungguh-sungguh supaya KMB segera diadakan sehabis pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta
  • hasil negosiasi Roem-Royen ini menerima reaksi keras dari banyak sekali pihak di Indonesia, terutama dari pihak Tentara Nasional Indonesia dan PDRI.

8. Konferensi Inter Indonesia

Pendekatan antara pimpinan Republik dan BFO yang semakin hangat menjelang dilaksanakan Perundingan Roem - Royen dan kontak-kontak menjelang dan sehabis Pemerintah Republik kembali ke Yogya, sudah membuka jalan untuk mengadakan Konferensi Inter Indonesia. 

Delegasi RI ke Konferensi Inter Indonesia, terbentuk 18 Juli 1949 dipimpin oleh Wakil Presiden/PM Moh. Hatta. Sedangkan delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak dan Anak Agung dari NIT.

Konferensi Inter Indonesia bertujuan untuk menyatukan pendapat antara RI dan BFO dalam rangka menghadapi Belanda dalam KMB. Konferensi dilaksanakan dua tahap.

a. Di Yogyakarta (19 – 22 Juli 1949)

Dalam konferensi tahap pertama sudah disahkan bahwa:
  • negara Indonesia Serikat akan didiberi nama Republik Indonesia Serikat;
  • Merah Putih yaitu bendera kebangsaan;
  • Indonesia Raya yaitu lagu kebangsaan;
  • Bahasa nasional yaitu bahasa Indonesia;
  • 17 Agustus yaitu Hari Kemerdekaan.
Hasil Konferensi Inter Indonesia ini ternyata yaitu konfirmasi konsensus nasional yang semenjak 17 Agustus 1945 direalisasikan dalam usaha bangsa.

b. Di Jakarta (31 Juli – 2 Agustus 1949)

Konferensi Inter Indonesia tahap kedua bertempat di Gedung Pejambon, Jakarta. Salah satu keputusan penting yang diambil yaitu bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatan-ikatan politik ataupun ekonomi. 

Di bidang militer/pertahanan konferensi memutuska antara lain:
  • Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yaitu Angkatan Perang Nasional.
  • TNI menjadi inti APRIS dan akan mendapatkan orang-orang Indonesia yang ada dalam KNIL, dan kesatuan-kesatuan tentara Belanda lain dengan syarat-syarat yang akan ditentukan lebih lanjut.
  • Pertahanan negara yaitu semata-mata hak Pemerintah RIS, Negara-negara pecahan tidak memiliki angkatan perang sendiri.

9. Konferensi Meja Bundar (KMB)

Konferensi Meja Bundar dilaksanakan di Den Haag, Belanda pada tanggal 23 Agustus - 2 November 1949. Delegasi yang hadir dalam KMB.
  • Delegasi RI : Drs. Moh. Hatta
  • Delegasi BFO : Sultan Hamid
  • Delegasi Belanda : Mr. Van Maarseven
  • Wakil UNCI : Chritchley
Hasil Konferensi Meja Bundar yaitu sebagai diberikut.
  • Indonesia menjadi negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
  • Hutang bekas pemerintah Hindia Belanda ditanggung oleh RIS.
  • RIS dan kerajaan Belanda bergabung yang ialah Uni Indonesia-Belanda di bawah Ratu Belanda sebagai Kepala Uni.
  • Pengakuan kedaulatan dilaksanakan simpulan tahun 1949.
  • Penyerahan Irian Barat dilaksanakan satu tahun sehabis KMB.
Dalam KMB terdapat masalah-masalah yang susah dipecahkan, beberapa masalah itu yaitu sebagai diberikut.
  • Masalah istilah legalisasi kedaulatan dan penyerahan kedaulatan. Indonesia menghendaki penerapan istilah legalisasi kedaulatan, sedangkan Belanda menghendaki istilah penyerahan kedaulatan.
  • Masalah Uni Indonesia-Belanda. Indonesia menginginkan biar sifatnya spesialuntuk kolaborasi yang bebas tanpa adanya organisasi permguan. Sedangkan Belanda menginginkan kolaborasi yang luas dengan organisasi yang luas pula
  • Masalah pinjaman. Indonesia spesialuntuk mengakui pinjaman-pinjaman Hindia-Belanda hingga menyerahnya Belanda kepada Jepang. Sebaliknya Belanda beropini bahwa Indonesia harus mengambil alih tiruana kekayaan maupun santunan Hindia belanda hingga ketika itu, termasuk biaya perang kolonial terhadap Indonesia.

10. Pengakuan Kedaulatan

Untuk mempersiapkan pembentukan negara RIS, pada tanggal 15-16 Desember 1949, Moh. Roem memimpin sidang Panitia Pemilihan Nasional (PPN) di Jakarta. Keputusan sidang PPN yaitu:
  • memilih Ir.Soekarno sebagai Presiden RIS dan Drs. Moh.Hatta sebagai wakilnya
  • sebagai pemangku jabatan (acting) Presiden Republik Indonesia yaitu Mr.Asaat. 
Pengakuan kedaulatan dilaksanakan tanggal 27 Desember 1949 di tiga tempat, yaitu di Belanda, Jakarta, dan Yogyakarta.

a. Di Belanda

Ratu Yuliana, Perdana Menteri Williem Drees, dan Menteri Seberang Lautan Mr. Sassen memberikan legalisasi kedaulatan kepada Moh.Hatta.

b. Di Jakarta

Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.J.H.Lovink memberikan legalisasi kedaulatan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

c. Di Yogyakarta

Penyerahan kedaulatan RI kepada RIS dilakukan oleh pejabat Presiden Mr. Asaat kepada A. Mononutu (Menteri Penerangan RIS).

Baca Juga:

Sumber http://www.kuttabku.com

Post a Comment for "Sejarah Negosiasi Hooge Veluwe, Linggarjati, Renville, Roem Royen, Konferensi Inter Indonesia, Konferensi Meja Bulat (Kmb) Dan Legalisasi Kedaulatan"