Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Faktor-Faktor Penyebab Runtuhnya Tradisi Kerajaan Hindu-Budha Di Indonesia

Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu maupun Buddha di Indonesia mengalami masa kejayaan antara era ke-7 hingga 12 M. Sesudah memasuki era ke-10 hingga era ke-12, kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu maupun Buddha di Indonesia mulai mengalami kemunduran.

Runtuhnya Tradisi Hindu-Buddha di Indonesia

Secara umum, faktor-faktor penyebab runtuhnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha sebagai diberikut.
  1. Terdesaknya kerajaan-kerajaan kecil oleh kerajaan-kerajaan besar.
  2. Tidak ada pengaderan pemimpin sehingga tidak ada pemimpin pengganti yang setara dengan penlampaunya.
  3. Munculnya perang saudara yang melemahkan kerajaan.
  4. Kemunduran ekonomi perdagangan negara.
  5. Tersiarnya agama Islam yang mendesak agama Hindu-Buddha.

Walaupun kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha sudah runtuh, tetapi tradisinya masih hidup di Nusantara. Berikut ulasan terkena faktor-faktor penyebab runtuhnya tiga kerajaan besar di Nusantara yang bercorak Hindu-Buddha.

Kerajaan Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya mundur semenjak era ke-10 disebabkan oleh faktor-faktor diberikut.

a. Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar Palembang sehingga posisinya menjauh dari maritim dan bahtera susah merapat.

b. Letak Palembang yang makin jauh dari maritim mengakibatkan kawasan itu kurang strategis lagi kedudukannya sebagai sentra perdagangan nasional maupun internasional. 

Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep sanggup menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis daripada Palembang.

c. Dalam bidang politik, Sriwijaya spesialuntuk mempunyai angkatan maritim yang diandalkan. Sesudah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia belahan timur dan Sriwijaya di belahan barat.

d. Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Teguh Dharmawangsa terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992) hingga mengakibatkan utusan yang dikirim ke Cina tidak berani kembali. 

Serangan kedua dilakukan oleh Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 kemudian atas sentra Sriwijaya pada tahun 1023 – 1030. Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India.

Ketika Kertguagara bertakhta di Singasari juga ada perjuangan penyerangan terhadap Sriwijaya, namun gres sebatas perjuangan mengurung Sriwijaya dengan pendudukan atas wilayah Melayu. 

Akhir dari Kerajaan Sriwijaya ialah pendudukan oleh Majapahit dalam perjuangan membuat kesatuan Nusantara (1377).

Berita Cina dari zaman dinasti Tang sebut bahwa pada era ke-7, di Kanton dan Sumatra sudah ada orang muslim. 

Hal ini berkaitan dengan perkembangan perdagangan dan pelayaran yang bersifat internasional antara negara-negara Asia Barat dan Asia Timur, yaitu antara Kerajaan Islam Bani Umayyah, kerajaan Cina dinasti Tang, dan Kerajaan Sriwijaya.

Pada era ke-7 hingga ke-12 Masehi, Kerajaan Sriwijaya memang memegang peranan penting di bidang ekonomi dan perdagangan untuk kawasan Asia Tenggara. 

Namun pada era ke-12, peranan tersebut mulai menawarkan kemunduran. Bukti terkena kemunduran ekonomi dan perdagangan Sriwijaya sanggup diketahui dari diberita Chou Ku-Fei tahun 1178. 

Berita tersebut menyatakan bahwa harga barang-barang dari Sriwijaya mahal lantaran rupanya tidak lagi menghasilkan hasil-hasil alamnya. 

Untuk mencegah kemunduran ekonomi dan perdagangan, Kerajaan Sriwijaya kemudian membuat peraturan cukai yang lebih berat bagi kapal dagang yang singgah ke kawasan pelabuhannya. 

Kemunduran Sriwijaya di bidang perdagangan dan politik dipercepat oleh usaha-usaha Kerajaan Singasari untuk memperkecil kekuasaan Sriwijaya dengan mengadakan ekspedisi Pamalayu pada tahun 1275. 

Usaha tersebut dimanfaatkan oleh daerah-daerah lain untuk melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Sejalan dengan itu para pedagang muslim (mungkin disertai para mubalignya pula) mempergunakan peluang ini untuk memperoleh laba dari perdagangan dan politik. 

Mereka mendukung daerah-daerah yang melepaskan diri tersebut dan memunculkan kekuatan-kekuatan gres berupa kerajaan-kerajaan bercorak Islam, menyerupai Samudra Pasai yang terletak di pesisir timur maritim Aceh, termasuk Kabupaten Aceh Utara bersahabat Lhokseumawe.

Kerajaan Mataram Kuno

Peranan Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah mundur ketika sentra kekuasaannya pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Ada beberapa pendapat terkena pemindahan sentra kerajaan ini. 

Pendapat usang menyampaikan bahwa pemindahan sentra kerajaan ini sehubungan dengan adanya musibah berupa banjir atau pegunungan meletus atau adanya wabah penyakit. 

Namun, pendapat ini tidak sanggup dibuktikan alasannya ialah tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah. Pendapat lain sebut bahwa rakyat menyingkir ke Jawa Timur akhir adanya paksaan terhadap para penganut Hindu untuk membangun candi Buddha. Pendapat gres sebut dua faktor diberikut.

a. Keadaan alam bumi Mataram yang tertutup secara alamiah berakibat negara ini susah berkembang. Sementara, keadaan alam Jawa Timur lebih terbuka untuk perdagangan luar, 

tidak ada pepegununganan atau pegunungan yang merintangi, bahkan didukung adanya Sungai Bengawan Solo dan Brantas yang memperlancar kemudian lintas dari pedalaman ke pantai. 

Apalagi, alam Jawa Timur belum banyak diusahakan sehingga tanahnya lebih rindang dibandingkan dengan tanah di Jawa Tengah.

b. Dari segi politik, ada kebutuhan untuk meragukan bahaya Sriwijaya, terutama lantaran Sriwijaya pada ketika itu dikuasai dinasti Syailendra. 

Sebagai antisipasinya, sentra kerajaan perlu dijauhkan dari tekanan Sriwijaya. Ketika Sriwijaya sungguh-sungguh menyerang pada pertengahan era ke-10, Mpu Sindok sanggup mematahkannya. 

Tetapi, serangan Sriwijaya diberikutnya dimenolong Raja Wurawari pada tahun 1017 menghancurkan Mataram yang ketika itu dipimpin Dharmawangsa. Kerajaan Mataram yang kedua berdiri kembali di Jawa Tengah pada era ke-16, kali ini sudah beragama Islam.

Kerajaan Majapahit

Kemunduran Majapahit berawal semenjak wafatnya Gajah Mada pada tahun 1364. Hayam Wuruk tidak sanggup memperoleh ganti yang secakap Gajah Mada. 

Jabatan-jabatan yang dipegang Gajah Mada (semasa hidupnya, Gajah Mada memegang begitu banyak jabatan) didiberikan kepada tiga orang. 

Sesudah Hayam Wuruk meninggal pada tahun 1389, Majapahit benar-benar mengalami kemunduran. Beberapa faktor penyebab kemunduran Majapahit sebagai diberikut.

a. Tidak ada lagi tokoh di sentra pemerintahan yang sanggup mempertahankan kesatuan wilayah sehabis Gajah Mada dan Hayam Wuruk meninggal.

b. Struktur pemerintahan Majapahit yang menyerupai dengan sistem negara serikat pada masa modern dan banyaknya kebebasan yang didiberikan kepada kawasan megampangkan wilayah-wilayah jajahan untuk melepaskan diri begitu diketahui bahwa di sentra pemerintahan sedang kosong kekuasaan.

c. Terjadinya perang saudara, di antaranya yang populer ialah Perang Paregreg (1401 – 1406) yang dilakukan oleh Bhre Wirabhumi melawan sentra Kerajaan Majapahit.

Bhre Wirabhumi didiberi kekuasaan di wilayah Blambangan. Namun, ia berambisi untuk menjadi raja Majapahit. 

Dalam dongeng rakyat, Bhre Wirabhumi dikenal sebagai Minakjingga yang dikalahkan oleh Raden Gajah atau Damarwulan. 

Selain perang saudara, terjadi juga perjuangan memisahkan diri yang dilakukan Girindrawardhana dari Kediri (1478).

d. Masuknya agama Islam semenjak zaman Kerajaan Kediri di Jawa Timur mengakibatkan kekuatan gres yang menentang kekuasaan Majapahit. 

Banyak bupati di wilayah pantai yang masuk Islam lantaran kepentingan dagang dan berbalik melawan Majapahit.

Sesudah Hayam Wuruk meninggal, Wikramawardhana, menantu Hayam Wuruk (suami Kusumawardhani), naik takhta menggantikan Hayam Wuruk. 

Hal ini mengakibatkan ketidaksenangan saudara pria lain ibu dari Kusumawardhani yang berjulukan Bhre Wirabhumi. 

Bhre Wirabhumi ini lahir dari seorang selir sehingga tidak berhak atas takhta Majapahit. Lama-kelabuaan rasa tidak puas itu makin memuncak hingga timbul perang saudara antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi. Sengketa ini kemudian berlarut-larut. 

Sesudah Wikramawardhana digantikan oleh Suhita, perperihalan ini masih berlanjut. Suhita meninggal pada tahun 1447 M dan digantikan oleh Kertawijaya. 

Sesudah Kertawijaya meninggal pada tahun 1451, kekacauan politik semakin memburuk. Penggantinya, Bhre Pamotan yang bergelar Rajasawardhana atau Sinagara (1451 – 1453) berusaha menyebarkan pemerintahan, namun tidak berhasil lantaran tewas dalam perang. 

Sepeninggalnya, Majapahit mengalami kekosongan kekuasaan selama tiga tahun hingga muncul Bhre Wengku atau Bhre Hyang Purwawisesa (putra Kertawijaya) yang memegang kekuasaan dari tahun 1456 hingga 1466. 

Ia digantikan oleh Bhre Pandan Salas yang spesialuntuk memerintah selama dua tahun alasannya ialah diserang oleh Bhre Kertabhumi (putra Bhre Pamotan). 

Bhre Pandan Salas (Bhatara ri Dahanapura) digantikan putranya, Girindrawardhana Dyah Ramawijaya. Awalnya, ia memerintah di Keling, namun kemudian menyerang Majapahit (1468) untuk merebut kembali takhta dari tangan Bhre Kertabhumi. 

Ramawijaya kemudian menjadi raja terakhir Majapahit dengan gelar Sri Wilwatiktapura Janggala Kadiri Prabhunata. Gelar ini diperolehnya alasannya ialah ia menguasai tiga kerajaan sekaligus, yaitu Majapahit, Jenggala, dan Kediri.

Sumber http://www.kuttabku.com

Post a Comment for "Faktor-Faktor Penyebab Runtuhnya Tradisi Kerajaan Hindu-Budha Di Indonesia"