Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Lengkap Perihal Letak, Pendiri, Silsilah Dan Prasasti Peninggalan Serta Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Bali

Berikut ini akan dibahasa wacana kerajaan bali, pendiri kerajaan bali, kerajaan di bali, peninggalan kerajaan bali, letak kerajaan bali, prasasti kerajaan bali, prasasti peninggalan kerajaan bali, silsilah kerajaan bali, kerajaan bali didirikan oleh dinasti, kerajaan bali kuno, raja udayana, jaya sakti, jaya pangus, kehidupan sosial kerajaan bali, kehidupan budaya kerajaan bali.

Kerajaan Bali

a. Raja-raja dinasti Warmadewa

Berdasarkan prasasti Blanjong yang berangka tahun 914, Raja Bali pertama yakni Khesari Warmadewa. Istananya berada di Singhadwalawa. Raja diberikutnya yakni Sang Ratu Sri Ugrasena. 

Ia memerintah semenjak tahun 915 hingga 942. Istananya di Singhamandawa. Masa pemerintahannya sezaman dengan Mpu Sindok di Jawa Timur. 

Sang Ratu Sri Ugrasena meninggalkan sembilan prasasti, satu di antaranya yakni prasasti Bobahan I. Sesudah wafat, Sang Ratu Sri Ugrasena dicandikan di Air Mandatu dan digantikan oleh raja-raja yang menggunakan gelar Warmadewa (dinasti Warmadewa).

Raja pertama dari dinasti Warmadewa yakni Aji Tabguandra Warmadewa. Raja ini memerintah tahun 955 – 967 M bersama istrinya, Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi. 

Penggantinya yakni Jayasingha Warmadewa. Raja inilah yang membuat telaga (pemandian) dari sumber suci di desa Manukraya. Pemandian itu disebut Tirta Empul, terletak di bersahabat Tampaksiring. 

Raja Jayasingha Warmadewa memerintah hingga tahun 975 M. Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah tahun 975 – 983 M. 

Tidak ada keterangan lain yang sanggup diperoleh dari raja ini, kecuali wacana anugerah raja kepada desa Jalah. Pada tahun 983 M, muncul seorang raja wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (983 – 989 M).

Pengganti Sri Wijaya Mahadewi berjulukan Dharma Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, Gunapriya Dharmapatni atau lebih dikenal dengan nama Mahendradatta, putri dari Raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur. 

Sebelum naik takhta, diperkirakan Udayana berada di Jawa Timur alasannya yakni namanya tergores dalam prasasti Jalatunda. Pada tahun 1001 M, Gunapriya meninggal dan dicandikan di Burwan. 

Udayana meneruskan pemerintahannya sendirian hingga wafat pada tahun 1011 M. Ia dicandikan di Banuwka. 

Hal ini disimpulkan dari prasasti Air Hwang (1011) yang spesialuntuk sebut nama Udayana sendiri. Adapun dalam prasasti Ujung (Hyang) disebutkan bahwa sehabis wafat, Udayana dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka. 

Raja Udayana mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga tidak pernah memerintah di Bali lantaran menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa Timur. 

Oleh lantaran itu, yang menggantikan Raja Udayana dan Gunapriya yakni Marakata. Sesudah naik takhta, Marakata bergelar Dharmawangsawardhana Marakata PangkajasthanaUttunggadewa. 

Marakata memerintah dari tahun 1011 hingga 1022. Masa pemerintahan Marakata sezaman dengan Airlangga. Oleh lantaran adanya persamaan unsur nama dan masa pemerintahannya, spesialis sejarah, Stuterheim, beropini bahwa Marakata sebetulnya yakni Airlangga. 

Apalagi jikalau dilihat dari kepribadian dan cara memimpin yang mempunyai kesamaan. Oleh rakyatnya, Marakata dipandang sebagai sumber kebenaran aturan yang selalu dilindungi dan memerhatikan rakyat. Ia sangat disegani dan ditaati oleh rakyatnya. 

Persamaan lain Marakata dengan Airlangga yakni Marakata juga membangun sebuah presada atau candi di Gunung Kawi di kawasan Tampaksiring, Bali. 

Sesudah pemerintahannya berakhir, Marakata digantikan oleh Raja Anak Wungsu. Ia bergelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira Kalih Bhatari Lumah i Burwan Bhatara Lumah i Banu Wka. 

Anak Wungsu yakni Raja Bali Kuno yang paling banyak meninggalkan prasasti (lebih dari 28 prasasti) yang tersebar di Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali Selatan. 

Anak Wungsu memerintah selama 28 tahun, yaitu dari tahun 1049 hingga 1077. Ia dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Anak Wungsu tidak mempunyai keturunan. 

Ia wafat pada tahun 1077 dan dimakamkan di Gunung Kawi, Tampaksiring. Berakhirlah dinasti Warmadewa.

b. Pemerintahan sehabis dinasti Warmadewa

Sesudah berakhirnya pemerintahan dinasti Warmadewa, Bali diperintah oleh beberapa orang raja silih berganti. Raja-raja yang perlu diketahui sebagai diberikut.

1) Jayasakti

Jayasakti memerintah dari tahun 1133 hingga tahun 1150 M, sezaman dengan pemerintahan Jayabaya di Kediri. Dalam menjalankan pemerintahannya, Jayasakti dimenolong oleh penasihat sentra yang terdiri atas para senopati dan pendeta, baik dari agama Hindu maupun dari agama Buddha. 

Kitab undang-undang yang digunakan yakni kitab Utara Widhi Balawan dan kitab Rajawacana. Kitab undang-undang ini ialah peninggalan kebudayaan dari masa pemerintahan Jayasakti yang cukup tinggi. Kitab ini juga digunakan pada masa pemerintahan Ratu Sakalendukirana dan penerusnya. 

Dari prasasti-prasasti yang ditemukan, diketahui bahwa pada masa pemerintahan Jayasakti, agama Buddha dan Syiwa berkembang dengan baik. Aliran Waisnawa juga berkembang pada waktu itu. Raja Jayasakti sendiri disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.

2) Ragajaya

Ragajaya mulai memerintah pada tahun 1155 M, namun kapan berakhirnya tidak diketahui alasannya yakni tidak ada sumber tertulis yang membuktikan hal tersebut.

3) Jayapangus (1177 – 1181)

Raja Jayapangus dianggap sebagai penyelamat rakyat yang terkena malapetaka akhir lalai menjalankan ibadah. 

Raja ini mendapatkan wahyu dari yang kuasa untuk mengajak rakyat kembali melaksanakan upacara keagamaan yang hingga kini dikenal dan diperingati sebagai upacara Galungan. Kitab undang-undang yang digunakannya yakni kitab Mana Wakamandaka.

4) Ekajalancana

Ekajalancana memerintah pada sekitar tahun 1200 – 1204 M. Dalam memerintah, Ekajalancana dimenolong oleh ibunya yang berjulukan Sri Maharaja Aryadegjaya.

5) Sri Asta Asuratna Bumi Banten

Sri Asta Asuratna Bumi Banten diyakini sebagai raja Bali yang terakhir. Sesudah itu, Bali ditaklukkan oleh Gajah Mada dan menjadi bab dari Kerajaan Majapahit.

Kehidupan sosial budaya masyarakat Kerajaan Bali

Kehidupan masyarakat di Bali dan kebudayaannya sangat lekat terpengaruh oleh agama Hindu. Agama Hindu yang berkembang di Bali ini sudah bercampur dengan unsur budaya asli. 

Salah satu pola yang paling faktual sanggup dilihat yakni bahwa yang kuasa tertinggi dalam agama Hindu-Buddha bukanlah Syiwa, melainkan Sang Hyang Widhi yang sama kedudukannya dengan Sang Hyang Wenang di Jawa. 

Selain itu, masyarakat Bali juga mengenal dewa-dewa setempat, menyerupai yang kuasa air dan yang kuasa pegunungan (di Jawa kiranya sejajar dengan Grama Desa). 

Di bawah desa, mereka juga memuja roh nenek moyang dan cikal bakal. Upacara penghormatan leluhur disebut Pitra Yodnya. Sebagai tempat suci, lampau digunakan candi. 

Tetapi, semenjak berdirinya Kerajaan Gelgel dan Klungkung, penerapan candi sebagai tempat suci dihapus. Sebagai pengganti fungsi candi dibuatkan kuil berupa kompleks bangunan yang sering disebut pura. 

Pada waktu upacara, yang kuasa atau roh yang dipuja diturunkan dari nirwana dan ditempatkan pada kuil untuk didiberi sesaji sebagai penghormatan. 

Upacara itu, misalnya, diadakan pada hari Kuningan (hari turunnya yang kuasa dan pahlawan), pada hari Galungan (menjelang Tahra dan Saka), dan hari Saraswati (pelindung kesusastraan). 

Pura dalam lingkungan kerajaan disebut Pura Dalem, bentuknya menyerupai candi Bentar dan dimaksudkan sebagai kuil kematian. 

Adapun untuk keluarga raja dibuatkan pura khusus yang disebut Sanggah atau Merajan. Di Bali, yang kuasa tidak dipatungkan. Patung-patung di Bali spesialuntuk berfungsi sebagai hiasan. 

Adanya patung yang kuasa di Bali diyakini sebagai bukti adanya dampak Jawa. Di dalam kuil dibuatkan tempat tertentu yang disediakan untuk tempat turunnya yang kuasa atau roh nenek moyang yang sudah menjalani prosesi ngaben. 

Ngaben yakni budaya pembakaran jenazah atau tulang surga. Pembakaran jenazah yakni suatu kebiasaan di India yang disesuaikan di Bali. Roh yang sudah menjalani upacara ngaben dianggap sudah suci. 

Ida Sang Hyang Widhi sebagai yang kuasa tertinggi tidak dibuatkan pura khusus, namun pada setiap kuil dibuatkan bangunan suci untuknya berbentuk Padmasana atau Meru beratap dua. 

Masyarakat Bali mengenal pemberian golongan atau kasta yang terdiri dari brahmana, ksatria, dan waisya. Ketiga kasta tersebut dikenal dengan Triwangsa. 

Di luar ketiga golongan tersebut masih ada lagi golongan yang disebut jaba, yaitu anggota masyarakat yang tidak memegang pemerintahan. Tiap-tiap golongan mempunyai kiprah dan kewajiban yang tidak sama dalam bidang keagamaan. 

Pada masa pemerintahan Anak Wungsu, dikenal adanya beberapa golongan pekerja khusus, di antaranya pande besi, pande emas, dan pande tembaga. 

Mereka bertugas membuat alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, senjata, perhiasan, dan sebagainya. 

Hubungan dengan Jawa sudah ada semenjak zaman pemerintahan Udayana dan Gunapriya, dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti raja-raja Bali yang menggunakan bahasa Jawa Kuno.

Sumber http://www.kuttabku.com

Post a Comment for "Sejarah Lengkap Perihal Letak, Pendiri, Silsilah Dan Prasasti Peninggalan Serta Kehidupan Sosial Budaya Kerajaan Bali"