Sejarah Penyebaran Dan Perkembangan Islam Di Nusantara Indonesia Melalui Jaringan Perdagangan Antar Pulau
Berikut ini akan kita bahas terkena islam dan jaenteng perdagangan antar pulau, terbentuknya jaenteng nusantara melalui perdagangan, jaenteng perdagangan nusantara, penyebaran islam di indonesia, proses masuknya islam ke indonesia, sejarah perkembangan islam di indonesia, perkembangan islam di nusantara, sejarah perkembangan islam di nusantara, terbentuknya jaenteng nusantara, peta penyebaran islam di indonesia, sejarah masuknya islam di nusantara.
Islam dan Jaenteng Perdagangan Antarpulau
Kepulauan Indonesia mempunyai maritim dan daratan yang luas. Para nelayan pergi melaut dan pulang dengan membawa hasil tangkapannya.
Begitu juga di pelabuhan terlihat kemudian lalang kapal yang membongkar dan memuat barang. Sungguh menakjubkan hamparan maritim yang sangat luas ciptaan Tuhan.
Coba engkau renungkan alam semesta, lautan dan daratan tiruana diciptakan-Nya untuk kepentingan hidup kita.
Marilah kita syukuri tiruana itu dengan menjaga lingkungan maritim dan daratan sebaik-baiknya. Sejak usang maritim sudah berfungsi sebagai jalur pelayaran dan perdagangan antar suku bangsa di Kepulauan Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia.
Pelaut tradisional Indonesia sudah mempunyai keterampilan berlayar yang dipelajari dari nenek moyang secara turun-temurun.
Kapal-kapal Cina yang sudah berlayar hingga ke Kepulauan Indonesia |
Bagi para pelaut, samudra bukan sekadar suatu bentangan air yang sangat luas. Setiap perubahan warna, tumpuan gerak air, bentuk gelombang, jenis burung, dan ikan yang mengitarinya sanggup memmenolong pelaut dalam mengambil keputusan atau tindakan untuk memilih arah perjalanan.
Sejak dulu mereka sudah mengenal teknologi arah angin dan demam isu untuk memilih perjalanan pelayaran dan perdagangan.
Kapal pedagang yang berlayar ke selatan memakai demam isu utara dalam Januari atau Februari dan kembali lagi pulang bila angin bertiup dari selatan dalam Juni, Juli, atau Agustus.
Angin demam isu barat daya di Samudra Hindia yakni antara April hingga Agustus, cara yang paling diandalkan untuk berlayar ke timur.
Mereka sanggup kembali pada demam isu yang sama setelah tinggal sebentar—tapi kebanyakan tinggal untuk berdagang—untuk menghindari demam isu perubahan yang rawan angin kencang dalam Oktober dan kembali dengan demam isu timur laut.
Bacaan diberikut akan memaparkan wacana kegiatan perdagangan antarpulau pada masa awal perkembangan Islam di Indonesia.
Memahami kegiatan pelayaran dan perdagangan antarpulau yang membawa serta pesan-pesan agama ini sanggup menjadi pelajaran dan menambah rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Berdasarkan data arkeologis menyerupai prasasti-prasasti maupun data historis berupa diberita-diberita asing, kegiatan perdagangan di Kepulauan Indonesia sudah dimulai semenjak era pertama Masehi.
Jalur-jalur pelayaran dan jaenteng perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan negeri-negeri di Asia Tenggara, India, dan Cina terutama menurut diberita-diberita Cina sudah dikaji, antara lain oleh W. Wolters (1967).
Demikian pula dari catatan-catatan sejarah Indonesia dan Malaya yang dihimpun dari sumber-sumber Cina oleh W.P Groeneveldt, sudah mengatakan adanya jaenteng–jaenteng perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dengan aneka macam negeri terutama dengan Cina.
Kontak dagang ini sudah berlangsung semenjak abad-abad pertama Masehi hingga dengan era ke-16. Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara semenjak permulaan era ke-7. Dari literatur Arab banyak sumber diberita wacana perjalanan mereka ke Asia Tenggara.
Adanya jalur pelayaran tersebut mengakibatkan munculnya jaenteng perdagangan dan pertumbuhan serta perkembangan kota-kota sentra kesultanan dengan kota-kota bandarnya pada era ke-13 hingga era ke-18 misalnya, Samudra Pasai, Malaka, Banda Aceh, Jambi, Palembang, Siak Indrapura, Minangkabau, Demak, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota-kota lainnya.
Dari sumber literatur Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan yang bercorak Islam atau kesultanan, antara lain;
Samudra Pasai dan Malaka yang tumbuh dan berkembang semenjak era ke-13 hingga era ke-15, sedangkan Ma Huan juga memdiberitakan adanya komunitas-komunitas Muslim di pesisir utara Jawa potongan timur.
Laksamana Cheng Ho |
Berita Tome Pires dalam Suma Oriental (1512-1515) mempersembahkan citra terkena keberadaan jalur pelayaran jaenteng perdagangan, baik regional maupun internasional.
Ia menceritakan wacana kemudian lintas dan kehadiran para pedagang di Samudra Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Kling, Malayu, Jawa, dan Siam.
Selain itu Tome Pires juga mencatat kehadiran para pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Ormuz, Persia, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol,
Goa, Keling, Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu, Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus, Tanjung Pura, Lawe, Bangka,
Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa, Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua, Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang dari aneka macam negeri dan bangsa di Samudra Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di pesisir utara Jawa sebagaimana diceritakan Tome Pires,
kita sanggup mengambil kesimpulan adanya jalur-jalur pelayaran dan jaenteng perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik yang bersifat regional maupun internasional.
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi korelasi pribadi dan dalam intensitas tinggi.
melaluiataubersamaini demikian kegiatan perdagangan dan pelayaran di Samudra Hindia semakin ramai. Peningkatan pelayaran tersebut berkaitan dekat dengan makin majunya perdagangan di masa jaya pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258).
melaluiataubersamaini diputuskannya Baghdad menjadi sentra pemerintahan menggantikan Damaskus (Syam), kegiatan pelayaran dan perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai.
Pedagang Arab yang selama ini spesialuntuk berlayar hingga India, semenjak era ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia dalam rangka perjalanan ke Cina.
Meskipun spesialuntuk transit, tetapi korelasi Arab dengan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia terjalin secara langsung.
Hubungan ini menjadi semakin ramai mabadunga pedagang Arab dihentikan masuk ke Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu pemberontakan yang terjadi pada 879 H.
Orang–orang Islam melarikan diri dari Pelabuhan Kanton dan meminta proteksi Raja Kedah dan Palembang.
Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan perjuangan Portugis selanjutnya untuk menguasai kemudian lintas di selat tersebut, mendorong para pedagang untuk mengambil jalur alternatif, dengan melintasi Semenanjung atau pantai barat Sumatra ke Selat Sunda.
Pergeseran ini melahirkan pelabuhan mediator yang baru, menyerupai Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar dan lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh bajak laut.
Perompakan maritim sering terjadi pada jalur-jalur perdagangan yang ramai, tetapi kurang menerima pengawasan oleh penguasa setempat.
Perompakan itu bahwasanya ialah bentuk kuno kegiatan dagang. Kegiatan tersebut dilakukan lantaran merosotnya keadaan politik dan mengganggu kewenangan pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah penguasa kolonial.
Akibat dari kegiatan bajak laut, rute pelayaran perdagangan yang tiruanla melalui Asia Barat ke Jawa kemudian berubah melalui pesisir Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan Barus, Pariaman, dan Tiku.
Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia lebih terserius pada perdagangan cengkih dan pala.
Dari Ternate dan Tidore (Maluku) dibawa barang komoditi ke Somba Opu, ibu kota Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan.
Somba Opu pada era ke-16 sudah menjalin korelasi perdagangan dengan Patani, Johor, Banjar, Blambangan, dan Maluku.
Situasi Bandar Makassar |
Adapun Hitu (Ambon) menjadi pelabuhan yang menampung komoditi cengkih yang hadir dari Huamual (Seram Barat), sedangkan komoditi pala berpusat di Banda. Semua pelabuhan tersebut umumnya dikunjungi oleh para pedagang Jawa, Cina, Arab, dan Makassar.
Kehadiran pedagang itu mensugesti corak kehidupan dan budaya setempat, antara lain dijumpai bekas koloninya menyerupai Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota Mangkasare (Makassar).
Pada era ke-15, Sulawesi Selatan sudah dikunjungi pedagang Muslim dari Malaka, Jawa, dan Sumatra. Dalam perjalanan sejarahnya, masyarakat Muslim di Gowa terutama Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653) dan putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) sudah menjalin korelasi dagang dengan Portugis.
Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng Pattingaloang turut mempersembahkan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr. Vieira, meskipun mereka beragama Katolik.
Kerjasama ini didorong oleh adanya perjuangan monopoli perdagangan rempah-rempah yang dilancarkan oleh kompeni Belanda di Maluku.
Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat dekat sekali. Ini ditandai dengan adanya seorang raja yang dianggap benar-benar sudah memeluk Islam ialah Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah mencar ilmu di Madrasah Giri.
Ia dijuluki sebagai Raja Bulawa, artinya raja cengkih, lantaran membawa cengkih dari Maluku sebagai persembahan.
Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli) spesialuntuk terdapat di Kepulauan Indonesia potongan timur, sehingga banyak barang yang hingga ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang panjang dari Maluku hingga ke Laut Tengah.
Cengkih yang diperdagangkan yakni putik bunga flora hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang dikeringkan.Satu pohon ini ada yang menghasilkan cengkih hingga 34 kg.
Hamparan cengkih ditanam di perbukitan di pulau-pulau kecil Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai barat Halmahera dan gres berhasil ditanam di pulau yang relatif besar, yaitu Bacan, Ambon dan Seram.
Meningkatnya ekspor lada dalam kancah perdagangan internasional, membuat pedagang Nusantara mengambil alih peranan India sebagai pemasok utama bagi pamasukan Eropa yang berkembang dengan cepat.
Selama periode (1500-1530) banyak terjadi gangguan di maritim sehingga bandar-bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi Asia ke Lisabon.
Oleh lantaran itu secara berangsur jalur perdagangan yang ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, ditambah dengan adanya perang di maritim Eropa,
penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia (1538) mempersembahkan pemberian yang besar bagi berkembangnya pelayaran Islam di Samudra Hindia.
Meskipun banyak kota bandar, namun yang berfungsi untuk melaksanakan ekspor dan impor komoditi pada umumnya yakni kota-kota bandar besar yang diberibu kota pemerintahan di pesisir, menyerupai Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara - Demak, Ternate, Tidore, Gowa-Tallo, Banjarmasin, Malaka, Samudra Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi.
Kesultanan Mataram bangun dari era ke-16 hingga ke- 18. Meskipun kedudukannya sebagai kerajaan pedalaman namun wilayah kekuasaannya mencakup sebagian besar Pulau Jawa yang ialah hasil perluasan Sultan Agung.
Kesultanan Mataram juga mempunyai kota-kota bandar, menyerupai Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban, Sedayu, Gresik, dan Surabaya.
Dalam proses perdagangan sudah terjalin korelasi antaretnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan-kerajaan tersebut kemudian berkumpul dan membentuk komunitas. Oleh lantaran itu, muncul nama-nama kampung menurut asal daerah.
Misalnya,di Jakarta terdapat perkampungan Keling, Pekojan, dan kampung-kampung lainnya yang berasal dari daerah-daerah asal yang jauh dari kota-kota yang dikunjungi, menyerupai Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, dan Kampung Bali.
Pada zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli barang masih dilakukan dengan cara barter.
Sistem tukar barang dilakukan antara pedagang-pedagang dari tempat pesisir dengan tempat pedalaman, bahkan adakala pribadi kepada petani.
Transaksi itu dilakukan di pasar, baik di kota maupun desa. Tradisi jual-beli dengan sistem tukar barang hingga sekarang masih dilakukan oleh beberapa masyarakat sederhana yang berada jauh di tempat terpencil.
Di beberapa kota pada masa pertumbuhan dan perkembangan Islam sudah memakai mata uang sebagai nilai tukar barang.
Mata uang yang dipergunakan tidak mengikat pada mata uang tertentu, kecuali ada ketentuan yang diatur pemerintah tempat setempat.
Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang berada di tempat tepi pantai disebabkan lantaran kemenangan militer dan ekonomi Belanda, dan munculnya kerajaan-kerajaan agraris di pedalaman yang tidak menaruh perhatian pada perdagangan.
Untuk memperdalam materi ini engkau sanggup membaca buku Taufik Abdullah dan Adrian B. Lapian, Indonesia Dalam Arus Sejarah, jilid III.
Post a Comment for "Sejarah Penyebaran Dan Perkembangan Islam Di Nusantara Indonesia Melalui Jaringan Perdagangan Antar Pulau"