Fakta Lingual Dan Potensi Ikon Bahasa
Pertama, perlu dijelaskan bahwa bahasa, yang sudah usang diyakini sebagai sosok sebaarbitrer atau semena mena, tidak ada yang menjadi justifikasi kemunculan atau kehadirannya, kini ini patut dipertimbankan lagi kebenarannya. Terlebih lebih jikalau dipertimbangkan data ikonis yang melimpah menyerupai disampaikan di depan. Bahasa ikonis sanggup dipahami sebagai entitas cerminan (icon) kenyataan, sebagaimana dilambangkan oleh entitas linguistik itu. Lazimnya, yang dipakai sebagai ikon atau cermin kenyataan ialah unsur bunyi atau aspek foniknya sekalipun dalam perkembangannya pengikonan itu sanggup dilakukan lewat tataran kebahasaan lain di atasnya. Pengikonan dalam tataran kata, frasa, kalimat, mungkin dilakukan terlebih lebih dalam bahasa jawa, sunda dan madura, yang hakikatnya memang mempunyai kelimpahan dan ikonisitas ini.
Berkaitan dengan kenyataan ini, ambillah bentuk bahasa jawa ‘gong’ yang dari segi pelafalannya udah mengimplikasikan sesuatu yang besar berdimensi berat. Maka, bunyi instrumen gamelan jawa itu bernada besar, bentuk sosok gamelan jawa itu pun relatif besar, terutama manakala diperbandingakn dengan perangkat gamelan lainnya. Perhatikajuga bentuk ‘kerikil’ dan ‘kerakal’, kata keduanya menunjuk pada entitas batu. Sosok gres yang mengandung fonik bermakna kecil sedang sosok watu yang berunsur fonik berkonotasi besar. Maka, ‘kerikil’ lantas bermakna watu kecil, sedangkan kerakal menunjuk entitas watu besar. Secara awam juga banyak penyimbolan yang dilakukan menurut manifestasi suaranya. Misalnya, unsur fonik selalu berkonotasi terang dalam bahasa jawa. Orang aakn murka atau setidaknya tersingguh jikalau dikatan dirinya ember, tekek, bebek, yang semuanya memang berkonotasi jelek. Hadirnya kata kata sebutan, menyerupai cicak, tekek, pipit, dekuku, bahwasanya juga didasrakan atas aspek fonik yang dikeluarkan entitas itu.
Dalam bahasa indonesia juga ada bentuk ikonik yang dasarnyadalah penyangatan dan penggampangan. Ambillah ‘ering kerontang’ untuk enunjukan makna penyangatan atas kondidisi kekeringan daerahnya tertentu. Alih alih bentuk ‘kering’, orang lebih suka menyampaikan bentuk yang disangatkan itu alasannya cirinya lebih ikonis. Juga bentuk ‘basah kuyup’ banyak dipakai alih alih bentuk ‘basa’ saja. Bentuk ‘kurus’ juga diikonikkan sehingga memilki nilai rasa yang berkadar lebih tinggai menjadi ‘kurung kering’. Adanya bentuk menyerupai ‘didor’ alih alih ‘ditembak’ dimasaa alih alih ‘dikeroyok masa’, dijotos atau ‘dibogem alih alih dipukul, dan bentuk lain yang melimpuah ruah. Ditemukan di media massa, seusngguhnya ialah manifestas pemanfaatan potensi bahasa ikonikd dalam jurnalistik. Pertanyaannya lalu, kenapa entuk bentuk demikian itu cenderung disuakai pembacanya? Jawabannya, alasannya bentuk bentuk ikonik itu secara hakiki mencerminkan fakta seusngguhnya dan berkadar rasa lebih tinggi dibandingkan dengan simbolisasi entitas linguistik pada umumnya.
Bertautan dengan ini, kiranya juga penting diberikan penjelasan bahwa simbol bahasa itu hakikatnya tidak sama dengan ikon bahasa. Simbol bahasa (linguistic symbol) tidak harus mempunyai cerminan kenyataan terhadap sesuatu yang disimbolkan, sedangkan di dalam ikon bahasa (linguisitic icon), cerminan itu menjadi hal yang dimutlakkan. Hadirnya kata ;kursi, meja, rambut, komputer’ dalam irit pengasuh, ialah murni simbolisasi arbitrer. Tetapi, hadirnya bentuk ‘didor, dibogem, diassa, diberondong’ ialah fakta ikonisitas. Optimalisasi pemanfaatan potensi ikonisitas cerminan kenyataan ini menjadikan perkembangan bahasa yang tidak monoton, tetapi sebaliknya justru memberikna nuansa lain dalam keseluruhan praktik kebahasaan.
Bentuk ‘abis’ dan habis’, kendatipun secara leksikal mungkin dianggap sama, bahwasanya mempunyai konotasi makna yang terang tidak sama. Juga bentuk ‘imbau’ dan ‘himbau’, bentuk ‘embas’ dan ‘hempas’, ‘impit’ dan ‘himpit’ yang secra verbal terang jelas diucapkan berbeda. Kedua bentuk berpasangan tersebut mestinya tidak begiut saja sanggup disamakan karena konotasi maknanya terang berbeda. Hadirnya unsur fonik (h) mengikonisasikan sesuasu yang relatif berat, sedangkan absennya unsur (h) dalam kata kata itu mengkonotasikan dispensasi atau kegampangan. Maka, terlepas dari bentuk bentuk tersebut benar atau salah dalam pemahamannya yang sekarang, pengasuh hendak menegaskan bahwa kedua pasangan bentuk itu mempunyai konotasi makna yang berbeda.
Anda memang benar dalam dunia kedokteran dan juga dalam bidang ilmu lainnya, banyak ditemukan kata kata yang tidak begiut saja dianggap simbolisasi, tetapi bahwasanya merupakan manifestasi ikonisasi. Kata ‘bakup’ yang bermakna cembung bisul (jawa: mlempung), terang mempunyai rasa lebih daripada sekedar bengkak. Pasalnya, ada jenis jenis bisul lain yang tidak selalu sempurna jikalau dikatakn ‘bakup’ atau ‘mlempung. Kata ‘bidam’ juga mempunyai fakta lingual demikian. Bentuk ‘bidam’ mimiliki konotasi makna memar serius, mencerminkan maujud lebih parah dibandingkan sekedar memar-memar.
Dalam irit pengasuh, tren pemakaian bahasa yang berciiri ikonis menyerupai yang banyak berkembang kini perlu disambut baik banyak kalangan. Tidak perlu bentuk demikian selalu disalahkan. Demikian pun hadirnya bentuk bentuk kependekan yang merebak ahli di mana mana, juga tidak perlu disingkirkan. Terkecuali, tentu saja, kependekan bahasa berdimensi politik yang dipakai sebagai kuda kepentingan politik. Seluruh manusia harus bersama gencar menepis, dilarang sedikitpun gentar memeranginya. Lacurnya, itulah fakta politisasi bahasa.
Post a Comment for "Fakta Lingual Dan Potensi Ikon Bahasa"