Upaya Menyelaraskan Teori Dan Praktik Mengajar Bahasa
Terus terang, saya termasuk orang yang tidak percaya diri dalam mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia (B&SI). Banyak hal yang menjadi penyebabnya.
Pertama, semenjak masa SD, SMP, dan SMA, teman-teman sekolah yang menyukai bahasa Indonesia sanggup dihitung dengan jari. Bahkan, banyak sobat yang menyepelekan pelajaran bahasa Indonesia. Kedua, dikala kuliah, saya merasa minder kalau ditanya "kuliah di jurusan apa?". Pasalnya, banyak sobat yang kuliah di jurusan lain mengejek mahasiswa yang kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Kata mereka, kami belum sanggup membaca, menulis, menyimak, dan berbicara dalam Bahasa Indonesia. Ketikga, teman-teman yang mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia banyak yang mengeluh ihwal siswa siswa yang kurang berminat mencar ilmu bahasa Indonesia. Para siswa yang mengikuti pembelajaran bahasa nasional ini belum tentu menyukai pelajaran tersebut. Ketakutan tidak naik kelas atau tidak lulus lebih banyak tampil sebagai alasan daripada alasan rasa suka terhadap pelajaran ini.
Satu hal yang sangat membuat saya merasa prihatin ialah penghargaan terhadap mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Guru yang memegang mata pelajaran ini banyak yang berlatar berlakan keilmuan lain. Artinya, masih banyak kepala sekolah yang beranggapan, pengajar bahasa Indonesia boleh saja guru bidang asuh lain. Bukti lapangan sanggup saya kemukakan di sini. Ketika saya mengikuti Pelatihan Guru Bahasa Indonesia Madrasa Aliyah se-Provinsi Bali, pada 17 Juli hingga dengan 8 Agustus 2003, di Balai Pealtihan Guru (BPG) Denpasar, saya menemukan kenyataan pahit. Dari 12 orang akseptor pelatihan, hanya 5 orang saja guru bahasa Indonesia dengan latar belakang pendidikan Bahasa Indonesia. Selebihnya ialah guru dengan latar belakang pendidikan yang beragam. Bahkan, yang lebih menjadi (maaf) tukang sablon, yang diutus oleh salah satu Madrasah Aliyah (MA). Kenyataan inilah, salah satu yang sangat mungkin menjadikan Bahasa dan Sastra Indonesia kurang diminati oleh siswa.
Ketika saya harus menjadi guru Bahasa dan Sastra Indonesia, saya harus mengajar sebagimana guru bahasa Indonesia yang sebenarnya. Satu keinginan dimunculkan oleh salah seorang tutor training di BPG Denpasar. Katanya, "bila pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia kurang diminati, marlah kita mencoba mengubah diri kita lebih menarik, baik dari penampilan maupun cara mengajar. Kalau para siswa sudah terbeli hatinya, akan gampang bagi seorang guru untuk melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran. Pada jam pelajaran yang panjang, saya selalu berusaha menyisipkan waktu jeda untuk membaca puisi karya siswa, bercerita hal hal yang lucu, atau saya dan siswa bergantian menjawab teka teki yang lucu. Hal ini sengaja saya lakukan untuk sekedar mengurangi rasa jenuh siswa, alasannya ialah tiga jam pelajaran untuk bahasa Indoensia sanggup membuat siswa bosan, apalagi bila berada di simpulan jam sekolah. Oleh alasannya ialah itu saya harus cendekia pintar menyiasati keadaan ini. Alhamdulillah, ternyata hal ini merupakan upaya efektif untuk "membeli" hati siswa. Hal tersebut sudah saya buktikan, dan mulai banyak menampakkan hasil, khususnya dalam pembelajaran yang bersifat praktik.
Setelah upaya "membeli" hati siswa berhasil hingga sanggup melibatkan siswa secara aktif dalam prosses pembelajaran, kesudahannya saya mencoba melkakukan upaya untuk memotivasi siswa biar mau melaksanakan praktik, dan di sinilah letak kesulitan yang sering dihadapi guru bahasa dan sastra Indonesia. Namun, kenytataan yang saya hadapi, sehabis hati siswa terbeli ternyata menjadi lebih gampang mengajak mereka melaksanakan praktik. melalu pendekatan kisah keberhasilan para sastrawan, hadiah kecil (misalnya, bolpen), bahkan saya berani menawari untuk siswa yang karya puisinya sanggup dimuat dalam koran maupun majalah, kesudahannya upaya menyelaraskan antara teori danenga praktik mulai dibangun. Pujian pribadi terhadap perubahan baik yang tampak pada siswa, juga menjadi pendorong yang efektif bagi semangat mencar ilmu siswa. Bahkan pada simpulan pembelajaran yang dianggap berhasil, contohnya dikala banyak siswa sanggup menerima nilai ulangan manis atau sanggup menggubah puisi, cerpen atau naskah drama sederhana, dan bila siswa sanggup membuat suasana yang aman dikala proses pembelajaran berlangsung, saya selalu mengucapkan terima kasih kepada siswa.
Masih banyak upaya lain yang sanggup dilakukan seorang guru untuk menyelaraskan teori dan praktik. Namun, upaya pertama yang harus dilakukan guru ialah mengkondisikan suasana pembelajaran yang menyenangkan, baik dari sisi penampilan maupun cara mengajar.
Sumber http://www.satubahasa.com
Post a Comment for "Upaya Menyelaraskan Teori Dan Praktik Mengajar Bahasa"