Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bahasa Holoprastik Dan Tahapan Bahasa Anak-Anak

Pada pembahasan kali ini, kita akan memahami perihal tahapan tahapan yang dilalui oleh Anak-Anak. Tahapan perkembangan holoprastik dalam disiplin psikolinguistik, merujuk pada konsep tata bahasa anak Dwight Bolinger (1975) yang menyebut bahwa perkembangan bahasa anak lazimnya dibagi dalam empat tataran. Tataran pertama disebut fase perkembangan holoprastik. Tata bahasa yang dikuasainya disebut tata bahasa holoprastik. Dalam fase perkembangan holoprastik, seorang anak biasa memberikan maksud dan pesannya dengan memakai satu kata. Sekalipun hanya satu kata atau bahkan kata kata yang tidak sepenuhnya lengkap, maksud bicara anak sanggup ditangkap dengan baik oleh pengasuhnya.

Dalam tahapan holoprastik anak cenderung mengulang bunyi-bunyi yang didengarnya dari pengasuh, kemudian diakitakn dengan apa yang biasa dilihat dan diserap dari alam sekelilingnya. Ambillah pola kata ‘bubur’ yang ia dengar dari pengasuhnya. Bersamaan dengan dilafalkannya ‘bubur’ diberikan masakan bubur kepadanya. Maka, lambat laun terpatri dalam benak sang anak bahwa sosok masakan lunak yang biasa diberikan kepadanya setiap kali ia menyampaikan ‘bubur’ sebagai masakan bubur. Maka saat suatu saat ia lapar dan hendak makan, selalu muncul dari ekspresi sang anak itu kata bubur, sekalipun barangkali pelafalannya belum terlalu sempurna.

 kita akan memahami perihal tahapan tahapan yang dilalui oleh Anak Bahasa Holoprastik dan Tahapan Bahasa Anak-Anak

Tahapan perkembangan sesudah holoprastik ialah fase penyambung, yang mengimplikasikan bahwa anak menghubung-hubungkan kata yang didengan dari lingkungannya. Ketika anak berguru mengucapkan ‘ayo’, dan ia juga mengerti maksud kata ‘main’, dan bahwa dengan ‘ayo main’ yang berkali-kali dikatakan kepada pengasuhnya selalu dipenuhi, maka setiap waktu ia menghendaki didirnya merasa bahagia dan mau bermain, selalu saja ia akan menyampaikan ‘ayo main, ayo main, ayo main’ kepada pengasuhnya. Dalam tahapan penghubung ini, anak mulai gemar bicara dengan model dua kata. Tata bahasa yang demikian oleh Bolinger disebut tata bahasa penyambung.

Tahapan ketiga dari perkembangan bahasa anak ialah fase pengintegrasian. Maka, tahapan ketatabahasaan yang dijalani dinamakan tata bahasa penyatuan. Anak mulai bicara dengan memakai lebih dari dua kata. Dia sudah menyambung-nyambungkan beberapa kata, sekalipun pada awalnya mulai berhadapan dengan duduk kasus di depannya. Pada tahapan perkembangan ini, ia mulai mengenal kearbitreran kata. Ia mulai tidak mengerti, mengapa ada bentuk ‘rumah sakit’, padahal baginya tidak ada ‘rumah yang dalam keadaan sakit’. Dia juga mulai galau dengan bentuk ‘kaki meja’ dan ‘kaki tangan’, yang semuanya tidak pribadi menunjuk pada tumpuan bentuk yang bekerjsama dilihat dan dicerap dengan inderanya. Pada tahap penyatuan, anak mulai bungung dengan pembedaan waktu dan kala dalam struktur bahasa. Di dalam masyarakat bahasa Inggris, contohnya saja, anak merasa galau dengan konsep agreement dalam struktur, yang dimaksudnya ialah pemilihan bentuk verba yang sesuai dengan subjeknya. Di dalam masyarakat Jawa, anak mulai galau dengan pemakaian kata ‘mangan, maem, dedhi, nedha, dhahar, yang semuanya sanggup bermakna ‘makan’.

Tahapan terakhir dari perkembangan bahasa anak ialah pengulangan. Sang anak cenderung mengulang-ulang bentuk yang sudah pernah dipakainya sambil terus menerus menambahkan khasanah kosakatanya. Inilah yang dalam banyak literatur disebut tahapan pembiasaan. Semakin kebiasaan terbentuk secara baik, optimal, dan intensif, akan kian oke kadar penguasaan bahasa anak. Semakin anak dilatih berbahasa dengan baik dan terarah dalam aneka momentum, akan kian piawailah anak itu dalam mendayagunakan bahasanya. Maka bila mencermati kebiasaan anak berbakat yang piawai  berbicara di depan publik pada usianya yang tergolong sangat muda, kita sendiri bahkan merasa tertegun-tegun karena tidak pernah bisa mengalaminya. Sesungguhnya, kasus adaptasi dalam berbahasa inilah yang terbentuk secara amat baik dalam diri mereka. Tetapi dipihak lain, kita juga sering melihat anak yang demikian pemalu dan canggung berbicara dengan sesamanya, terlebih dalam lembaga yang menghendaki dirinya tampil di depan publik. Sesungguhnya proses adaptasi dalam berbahasa inilah yang tidak terbentuk dengan sungguh-sungguh baik dan tepat pada bawah umur yang demikian ini.

Lalu kasus kemampuan berbahasa itu terbentuk secara sedikit demi sedikit ataukah merupakan talenta yang berasal dari sononya, sudah semenjak usang menjadi materi perdebatan para pakar yang seakan tidak ada habisnya. Kaum behavioris bahkan beropini bahwa segala sesuatu dalam acara berbahasa itu serba berstruktur adanya. Juga dalam kegiatan berbahasa, selalu ada tahapan tertentu yang mesti dilalui oleh seseorang. Di dalam lingusitik, konsep dari Dwight Bolinger di atas ditopang aliran struktural Amerika, Leonard Bloomfield, yang kemudian melahirkan aliran struktural dalam pembelajaran bahasa. Sementara itu, semua yang dianut aliran behavioris dipangkas aliran mentalis yang muncul pada periode ke 20. Dalam pemikiran kaum mentalis, menyerupai halnya Noam Chomsky, sosok bahasa itu diyakini sudah terbangun secra mental pada diri seseorang. Seorang anak akan mimiliki penguasasan bahasa tertentu sesudah mencapa usia yang tertentu pula. Bahasa anak juga banyak diyakini sebagai sosok talenta bawaan, yang sudah diberikan secra mental (innate) maka penguasa dan pembelajaran bahasa tidak semestinya dilakukan lewat tahap-tahap pembelajaran menyerupai yang tealah dibahas di atas.

Sumber http://www.satubahasa.com

Post a Comment for "Bahasa Holoprastik Dan Tahapan Bahasa Anak-Anak"