Ciri-Ciri Pokok Dan Hasil-Hasil Kebijakan Dalam Negeri Pada Kala Pemerintahan Orde Baru
Berikut ini akan dijabarkan klarifikasi terkena perkembangan masyarakat indonesia pada masa orde baru, masa orde baru, pemerintahan orde baru, ciri ciri pokok kebijakan pemerintahan orde baru, masa pemerintahan orde baru, ciri ciri pokok pemerintahan orde baru, ciri ciri pokok kebijakan pemerintah orde baru, Kebijakan dalam negeri Pemerintahan Orde Baru, Kebijakan dalam negeri Orde Baru.
Ciri-Ciri Pokok Kebijakan Pemerintahan Orde Baru
Sebagai langkah awal untuk membuat stabilitas nasional, Sidang Umum IV MPRS sudah tetapkan untuk menugaskan Letjen. Soeharto selaku pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966 atau
Supersemar yang sudah ditingkatkan menjadi Ketetapan MPRS No. IX/ MPRS untuk membentuk kabinet baru. Dibentuk Kabinet Ampera yang bertugas:
1. membuat stabilitas politik,
2. membuat stabilitas ekonomi.
Tugas pokok itulah yang disebut Dwidarma Kabinet Ampera. Program yang dicanangkan Kabinet Ampera disebut Caturkarya Kabinet Ampera, yaitu:
- memperbaiki perikehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pangan;
- melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu ibarat tercantum dalam Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966 (5 Juli 1968);
- melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966;
- melanjutkan usaha antiimperialisme dan antikolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.
Kabinet Ampera dipimpin oleh Presiden Soekarno, tetapi pelaksanaannya dilakukan oleh Presidium Kabinet. Presidium Kabinet dipimpin oleh Jenderal Soeharto.
Jadi, di sini terdapat dualisme kepemimpinan dalam Kabinet Ampera. Akibatnya, perjalanan kiprah kabinet kurang lancar yang berarti pula kurang menguntungkan bagi stabilitas politik.
Pada tanggal 22 Februari 1967 dengan penuh kebijaksanaan, Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto sebagai pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966.
Penyerahan kekuasaan tersebut ialah insiden sangat penting dalam usaha mengatasi situasi konflik yang sedang memuncak pada dikala itu.
Penyerahan itu tertuang dalam Pengumuman Presiden Mandataris MPRS, Panglima Tertinggi ABRI Tanggal 20 Februari 1967.
Pengumuman itu didasarkan atas Ketetapan MPRS No. XV/MPRS/1966 yang menyatakan apabila presiden berhalangan, pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 berfungsi sebagai pemegang jabatan presiden.
Jenderal Soeharto selaku pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/ 1966 pada tanggal 4 Maret 1967 mempersembahkan keterangan pemerintah di hadapan sidang DPRGR terkena terjadinya penyerahan kekuasaan.
Pemerintah tetap berpendirian bahwa penyelesaian konstitusional ihwal penyerahan kekuasaan tetap perlu dilaksanakan melalui sidang MPRS.
Oleh lantaran itu, untuk menghindari perperihalan politik yang berlarut-larut, diadakan Sidang Istimewa MPRS dari tanggal 7 hingga dengan 12 Maret 1967 di Jakarta yang berhasil mengakhiri konflik politik.
Berdasarkan Tap MPR XXXIII Secara umum, kebijakan pemerintah Orde Baru terdiri atas kebijakan dalam negeri dan kebijakan luar negeri.
Kebijakan Dalam Negeri
Struktur perekonomian Indonesia pada tahun 1950–1965 dalam keadaan kritis. Pemerintah Orde Baru meletakkan landasan yang kuat dalam pelaksanaan pembangunan melalui tahapan Repelita, keadaan kritis ditandai oleh hal-hal sebagai diberikut.
- Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor pertanian sehingga struktur perekonomian Indonesia lebih condong pada sektor pertanian.
- Komoditas ekspor Indonesia dari materi mentah (hasil pertanian) menghadapi persaingan di pamasukan internasional, contohnya karet alam dari Malaysia, gula tebu dari Meksiko, kopi dari Brasil, dan rempah-rempah dari Zanzibar (Afrika), sehingga devisa negara sangat rendah dan tidak bisa mengimpor materi kebutuhan pokok masyarakat yang dikala itu belum sanggup diproduksi di dalam negeri.
- Tingkat investasi rendah dan kurangnya tenaga jago di bidang industri, sehingga industri dalam negeri kurang berkembang.
- Tingkat pendapatan rata-rata penduduk Indonesia sangat rendah. Tahun 1960-an spesialuntuk mencapai 70 dolar Amerika per tahun, lebih rendah dari pendapatan rata-rata penduduk India, Bangladesh, dan Nigeria dikala itu.
- Produksi Nasional Bruto (PDB) per tahun sangat rendah. Di sisi lain pertumbuhan penduduk sangat tinggi (rata-rata 2,5% per tahun dalam tahun 1950-an).
- Indonesia sebagai pengimpor beras terbesar di dunia.
- Struktur perekonomian pada final tahun 1965, berada dalam keadaan yang sangat merosot. Tingkat inflasi sudah mencapai angka 65% dan masukana ekonomi di daerah-daerah berada dalam keadaan rusak berat lantaran ulah kaum PKI/BTI yang dikala itu berkuasa dan dengan sengaja ingin mengacaukan situasi ekonomi rakyat yang menentangnya.
Tugas pemerintah Orde Baru ialah menghentikan proses kemerosotan ekonomi dan membina landasan yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi ke arah yang wajar.
Dalam mengemban kiprah utama tersebut, banyak sekali budi sudah diambil sebagaimana tertuang dalam agenda jangka pendek berdasarkan Tap. MPRS No. XXII/MPRS/1966 yang diarahkan kepada pengendalian inflasi dan usaha rehabilitasi masukana ekonomi, peningkatan acara ekonomi, dan pencukupan kebutuhan sandang.
Program jangka pendek ini diambil dengan pertimbangan apabila laju inflasi sudah sanggup terkendalikan dan suatu tingkat stabilitas tercapai, barulah sanggup dibutuhkan pulihnya acara ekonomi yang masuk akal serta terbukanya peluang bagi peningkatan produksi.
melaluiataubersamaini usaha keras tercapai tingkat perekonomian yang stabil dalam waktu relatif singkat. Sejak 1 April 1969 pemerintah sudah meletakkan landasan dimungkinkannya gerak tolak pembangunan dengan diputuskannya Repelita I.
melaluiataubersamaini makin pulihnya situasi ekonomi, pada tahun 1969 bangsa Indonesia mulai melakukan pembangunan lima tahun yang pertama. Berbagai pramasukana penting direhabilitasi serta iklim usaha dan investasi dikembangkan.
Pembangunan sektor pertanian didiberi prioritas yang sangat tinggi lantaran menjadi kunci bagi pemenuhan kebutuhan pangan rakyat dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat.
Repelita I sanggup dilaksanakan dan selesai dengan baik, bahkan banyak sekali acara pembangunan dipercepat sehingga sanggup diikuti oleh Repelita selanjutnya.
Perhatian khusus pada sektor terbesar yang bermanfaa menghidupi rakyat, yaitu sektor pertanian. Sektor pertanian harus dibangun lebih lampau, sektor ini harus ditingkatkan produktivitasnya.
Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itu kemudian barulah dibangun sektor-sektor lain. Demikianlah pada tahap-tahap awal pembangunan, secara sadar bangsa Indonesia mempersembahkan prioritas yang sangat tinggi pada bidang pertanian.
Pembangunan yang dilaksanakan, yaitu membangun banyak sekali pramasukana pertanian, ibarat irigasi dan perhubungan, cara-cara bertani, dan teknologi pertanian yang diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui acara penyuluhan.
Penyediaan masukana penunjang utama, ibarat pupuk, diamankan dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan.
Pemamasukan hasil produksi mereka, kita diberikan kepastian melalui kebijakan harga dasar dan kebijakan stok beras. Strategi yang memprioritaskan pembangunan di bidang pertanian dan berkat ketekunan serta kerja keras bangsa Indonesia, khususnya para petani, produksi pangan sanggup terus ditingkatkan.
Akhirnya, pada tahun 1984 bangsa Indonesia berhasil mencapai swasembada beras. Hal ini ialah titik balik yang sangat penting alasannya ialah dalam tahun 1970-an, Indonesia ialah negara pengimpor beras terbesar di dunia.
Bersamaan dengan itu tercipta pula lapangan kerja dan sumber mata pencaharian bagi para petani. Swasembada beras itu sekaligus memperkuat ketahanan nasional di bidang ekonomi, khususnya pangan.
melaluiataubersamaini diputuskannya Repelita I untuk periode 1969/1970– 1973/1974, ialah awal pembangunan periode 25 tahun pertama (PJP I tahun 1969/ 1970–1993/1994).
Pembangunan dalam periode PJP I dimulai dengan pelaksanaan Repelita I dengan seni administrasi dasar diarahkan pada pencapaian stabilisasi nasional (ekonomi dan politik), pertumbuhan ekonomi, serta menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian.
Ditempatkannya stabilitas dan pertumbuhan ekonomi sebagai seni administrasi dasar dalam Repelita I tersebut dengan pertimbangan untuk melakukan Repelita sesuai dengan tahapantahapan yang sudah ditentukan (diprioritaskan).
Demikian pula pertimbangan untuk menitikberatkan pembangunan pada sektor pertanian dan industri yang menunjang sektor pertanian, didasarkan pertimbangan bahwa Indonesia ialah negara bercorak agraris yang sebagian besar penduduknya (65%–75%) bermata pencaharian di bidang pertanian (termasuk kehutanan, perkebunan, perikanan, dan peternakan).
Ini berarti sektor pertanian memdiberi dukungan terbesar kepada penerimaan devisa dan lapangan kerja. Mengingat pula bahwa sektor ini masih mempunyai kapasitas lebih yang belum dimanfaatkan.
Oleh lantaran itu, salah satu indikasi yang disimpulkan dalam Repelita I ini ialah perlunya pengarahan sumber-sumber (resources) ke sektor pertanian. Secara lebih khusus, hal ini berarti meningkatkan produksi pangan dan ekspor.
Adanya kekerabatan antarberbagai acara ekonomi (inter-sectoral ) maka pertanian sebagai sektor pemimpin, dibutuhkan sanggup menarikdanunik dan mendorong sektor-sektor lainnya, antara lain sektor industri yang menunjang sektor pertanian, ibarat pabrik pupuk, insektisida serta pramasukana ekonomi lainnya, contohnya masukana angkutan dan jalan.
Kegiatan pembangunan selama Pelita I sudah mengatakan hasil-hasil yang cukup menggembirakan, antara lain produksi beras sudah meningkat dari 11,32 juta ton menjadi 14 juta ton; pertumbuhan ekonomi dari rata-rata 3% menjadi 6,7% per tahun; pendapatan rata-rata penduduk (pendapatan per kapita) dari 80 dolar Amerika sanggup ditingkatkan menjadi 170 dolar Amerika.
Tingkat inflasi sanggup ditekan menjadi 47,8% pada final Repelita I (1973/1974). Repelita II untuk periode 1974/1975–1978/1979 dengan seni administrasi dasar diarahkan pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas nasional, dan pemerataan pembangunan dengan aksentuasi pada sektor pertanian dan peningkatan industri yang mengolah materi mentah menjadi materi baku.
Sesudah Repelita II dilanjutkan dengan Repelita III untuk periode 1979/ 1980–1983/1984, yakni dengan titik berat pembangunan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri mengolah materi baku menjadi materi jadi.
Repelita III dilanjutkan dengan Repelita IV (1984/1985–1988/1989) dengan titik berat pada sektor pertanian untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi hasil pertanian lainnya.
Pembangunan sektor industri mencakup industri yang menghasilkan barang ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian, dan industri yang sanggup menghasilkan mesin-mesin industri.
PJP I sudah diakhiri dengan Repelita V (1989/1990–1993/1994). Tahun 1973, Majelis Permusyawaratan Rakyat merumuskan dan tetapkan GBHN pertama ialah seni administrasi pembangunan nasional.
Perkembangan industri pertanian dan nonpertanian sudah membawa hasil yang cukup menggembirakan. Hasil-hasilnya sudah sanggup dirasakan dan dinikmati dikala itu oleh masyarakat Indonesia, antara lain sebagai diberikut.
a. Swasembada Beras
Sektor pertanian harus dibangun lebih lampau, sektor ini harus ditingkatkan produktivitasnya. Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itulah, kemudian dibangun sektor-sektor lainnya.
Pemerintah membangun banyak sekali pramasukana pertanian, ibarat irigasi dan perhubungan, cara-cara bertani dan teknologi pertanian yang gres diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan, penyediaan pupuk dengan membangun pabrik-pabrik pupuk.
Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan. Pemamasukan hasil-hasil produksi mereka didiberikan kepastian melalui kebijakan harga dasar dan kebijakan stok beras oleh pemerintah (Badan Urusan Logistik atau Bulog).
Strategi yang menlampaukan pembangunan pertanian tadi sudah berhasil mengantarkan bangsa Indonesia berswasembada beras, berbagi pembangunan secara luas kepada rakyat, dan mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Sejak tahun 1968 hingga dengan tahun 1992, produksi padi sangat meningkat. Dalam tahun 1968 produksi padi mencapai 17.156 ribu ton dan pada tahun 1992 naik menjadi 47.293 ribu ton yang berarti meningkat hampir tiga kalinya.
Perkembangan ini berarti bahwa dalam periode yang sama, produksi beras per jiwa meningkat dari 95,9 kg menjadi 154,0 kg per jiwa.
Prestasi yang besar, khususnya di sektor pertanian, sudah mengubah posisi Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar di dunia dalam tahun 1970-an menjadi negara yang mencapai swasembada pangan semenjak tahun 1984.
Kenyataan bahwa swasembada pangan yang tercapai pada tahun itu, juga selama lima tahun terakhir hingga dengan tahun terakhir Repelita V tetap sanggup dipertahankan.
b. Kesejahteraan Penduduk
Strategi menlampaukan pembangunan bidang pertanian disertai dengan pemerataan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang mencakup penyediaan kebutuhan pangan, peningkatan gizi, pemerataan pelayanan kesehatan, keluarga berencana, pendidikan dasar, air membersihkan, dan perumahan sederhana.
Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen dalam setiap Repelita. melaluiataubersamaini seni administrasi ini pemerintah sudah berhasil mengurangi kemiskinan di tanah air. Hasilnya ialah jumlah penduduk miskin di Indonesia makin berkurang.
Pada tahun 1970-an ada 60 orang di antaranya yang hidup miskin dari setiap 100 orang penduduk. Jumlah penduduk miskin ini sangat besar, yaitu sekitar 55 juta orang. Penduduk Indonesia yang miskin ini terus berkurang jumlahnya dari tahun ke tahun.
Pada tahun 1990 tinggal 15 orang yang masih hidup miskin dari setiap 100 orang. Hanya sedikit negara yang berhasil menurunkan jumlah kemiskinan penduduknya secepat pemerintah Indonesia. Prestasi ini membuat rasa percaya diri bangsa Indonesia bertambah tebal.
Pada waktu Indonesia mulai membangun tahun 1969, penghasilan rata-rata per jiwa rakyat Indonesia spesialuntuk sekitar 70 dolar Amerika per tahun.
Tahun 1993, penghasilannya sudah di atas 600 dolar Amerika. Selain menurunnya jumlah penduduk miskin dan meningkatnya penghasilan rata-rata penduduk sebagaimana tersebut di atas, juga keinginan hidup masyarakat sudah meningkat.
Jika pada awal tahun 1970-an penduduk Indonesia mempunyai keinginan hidup rata-rata 50 tahun, maka dalam tahun 1990-an keinginan hidup itu sudah meningkat menjadi lebih dari 61 tahun.
Dalam kurun waktu yang sama, angka janjkematian bayi menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.
Sementara itu, pertumbuhan penduduk juga sanggup dikendalikan melalui agenda Keluarga Berencana (KB). Selama dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan penduduk mencapai sekitar 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tadi sudah sanggup diturunkan menjadi sekitar 2,0% per tahun.
Strategi ini dilaksanakan secara konsekuen dalam setiap Repelita. melaluiataubersamaini seni administrasi ini pemerintah sudah berhasil mengurangi kemiskinan di tanah air. Hasilnya ialah jumlah penduduk miskin di Indonesia makin berkurang.
Pada tahun 1970-an ada 60 orang di antaranya yang hidup miskin dari setiap 100 orang penduduk. Jumlah penduduk miskin ini sangat besar, yaitu sekitar 55 juta orang. Penduduk Indonesia yang miskin ini terus berkurang jumlahnya dari tahun ke tahun.
Pada tahun 1990 tinggal 15 orang yang masih hidup miskin dari setiap 100 orang. Hanya sedikit negara yang berhasil menurunkan jumlah kemiskinan penduduknya secepat pemerintah Indonesia. Prestasi ini membuat rasa percaya diri bangsa Indonesia bertambah tebal.
Pada waktu Indonesia mulai membangun tahun 1969, penghasilan rata-rata per jiwa rakyat Indonesia spesialuntuk sekitar 70 dolar Amerika per tahun.
Tahun 1993, penghasilannya sudah di atas 600 dolar Amerika. Selain menurunnya jumlah penduduk miskin dan meningkatnya penghasilan rata-rata penduduk sebagaimana tersebut di atas, juga keinginan hidup masyarakat sudah meningkat.
Jika pada awal tahun 1970-an penduduk Indonesia mempunyai keinginan hidup rata-rata 50 tahun, maka dalam tahun 1990-an keinginan hidup itu sudah meningkat menjadi lebih dari 61 tahun.
Dalam kurun waktu yang sama, angka janjkematian bayi menurun dari 142 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup menjadi 63 untuk setiap 1.000 kelahiran hidup.
Sementara itu, pertumbuhan penduduk juga sanggup dikendalikan melalui agenda Keluarga Berencana (KB). Selama dasawarsa 1970-an laju pertumbuhan penduduk mencapai sekitar 2,3% per tahun. Pada awal tahun 1990-an, angka tadi sudah sanggup diturunkan menjadi sekitar 2,0% per tahun.
c. Perubahan Struktur Ekonomi
Berdasarkan amanat GBHN 1983 dengan kebijakan pemerintah dalam pembangunan sudah terjadi perubahan struktur ekonomi. Dari titik berat pada sektor pertanian menjadi lebih diberimbang dengan sektor di luar pertanian.
Pada dikala Indonesia mulai membangun (tahun 1969), peranan sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) secara persentase ialah 49,3%.
Sektor-sektor di luar sektor pertanian, ibarat sektor industri pengolahan 4,7%, bangunan 2,8%, perdagangan dan jasa-jasa 30,7%. Melalui Repelita terlihat bahwa tahun demi tahun peranan sektor pertanian sudah menurun.
Sebaliknya, peranan sektorsektor di luar sektor pertanian (nonpertanian, ibarat industri pengolahan, bangunan, perdagangan, dan jasa-jasa lainnya) mengatakan peningkatan peranan terhadap PDB.
Pada dikala Indonesia mulai membangun (tahun 1969), peranan sektor pertanian dalam Produk Domestik Bruto (PDB) secara persentase ialah 49,3%.
Sektor-sektor di luar sektor pertanian, ibarat sektor industri pengolahan 4,7%, bangunan 2,8%, perdagangan dan jasa-jasa 30,7%. Melalui Repelita terlihat bahwa tahun demi tahun peranan sektor pertanian sudah menurun.
Sebaliknya, peranan sektorsektor di luar sektor pertanian (nonpertanian, ibarat industri pengolahan, bangunan, perdagangan, dan jasa-jasa lainnya) mengatakan peningkatan peranan terhadap PDB.
Pada tahun 1990, sektor industri pengolahan meningkat mencapai 19,3%. Perdagangan, hotel, dan restoran mencapai 16,1%, sedangkan jasa-jasa mencapai 3,4%.
Apabila dijumlahkan sektor-sektor di luar sektor pertanian tersebut, peranannya terhadap PDB tahun 1990 mencapai 38,8%, berarti jauh lebih tinggi dari peranan sektor pertanian yang spesialuntuk 19,6%.
d. Perubahan Struktur Lapangan Kerja
Lebih banyak tenaga kerja yang beralih dari lapangan usaha sektor pertanian ke sektor usaha lainnya lantaran bertambahnya lapangan kerja gres yang diciptakan.
Selama periode tahun 1971 hingga dengan 1988 pertumbuhan tenaga kerja di luar sektor pertanian lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan di sektor pertanian.
Perubahan struktur tenaga kerja tersebut sudah pula membawa efek terhadap cara hidup dan kebutuhan hidup keluarga. Hal ini dengan sendirinya akan kuat terhadap contoh konsumsinya (adanya permintaan masyarakat yang meningkat).
Selama periode tahun 1971 hingga dengan 1988 pertumbuhan tenaga kerja di luar sektor pertanian lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan di sektor pertanian.
Perubahan struktur tenaga kerja tersebut sudah pula membawa efek terhadap cara hidup dan kebutuhan hidup keluarga. Hal ini dengan sendirinya akan kuat terhadap contoh konsumsinya (adanya permintaan masyarakat yang meningkat).
e. Perkembangan Investasi
Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang senantiasa dilakukan pemerintah di banyak sekali sektor ekonomi serta ditunjang adanya masukana infrastruktur yang makin bertambah baik di daerah-daerah, akan membawa iklim segar bagi investor baik dari dalam maupun luar negeri.
Para investor ini akan menanamkan modalnya di tempat dengan banyak sekali produk baik dalam rangka penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal gila (PMA).
Para investor ini akan menanamkan modalnya di tempat dengan banyak sekali produk baik dalam rangka penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal gila (PMA).
f. Perkembangan Ekspor
Perkembangan investasi (PMDN dan PMA) membawa efek terhadap produk yang dihasilkan. Produk yang dihasilkan tersebut tidak spesialuntuk ditujukan untuk pamasukan dalam negeri, tetapi lebih banyak ditujukan untuk ekspor (pamasukan luar negeri).
Jenis barang yang dihasilkan industri dalam negeri setiap tahun mengatakan peningkatan baik jenis maupun nilai ekspor sebagaimana sanggup dilihat perkembangannya. Sejak Repelita I, penerimaan dalam negeri yang bersumber dari penerimaan nonmigas jauh lebih tinggi dari penerimaan migas.
Namun, setelah investor gila menanamkan modal di sektor perminyakan sekitar tahun 1969/1970 (Repelita II) mulai terlihat hasil ekspor migas sudah meningkat lebih tinggi daripada penerimaan ekspor nonmigas (perpajakan dan bukan pajak).
Hingga tahun 1985/1986 (tahun kedua Repelita IV), penerimaan dalam negeri sangat bertumpu pada hasil ekspor migas. Namun, dikala terjadi krisis ekonomi yang melanda dunia di tahun 1980-an, maka hal tersebut sudah berdampak negatif terhadap tingkat harga minyak bumi di pamasukan dunia.
Pamasukan harga minyak bumi semenjak terjadinya krisis ekonomi dunia tidak lagi sanggup diharapkan. Sejak itu harga minyak bumi sudah anjlok dari 25,13 dolar Amerika per barel dalam bulan Januari 1986 turun menjadi 9,83 dolar Amerika per barel dalam bulan Agustus 1986.
Anjloknya harga minyak bumi di pamasukan dunia sudah memengaruhi penerimaan dalam negeri. Dalam upaya memperbaiki keadaan ekonomi dan keuangan negara, menteri keuangan RI pada tanggal 12 September 1986, sudah mengambil tindakan devaluasi rupiah terhadap nilai mata uang gila dan segera mengubah struktur penerimaan dalam negeri dari ketergantungan pada penerimaan migas beralih kepada penerimaan nonmigas.
melaluiataubersamaini devaluasi ini dibutuhkan komoditas nonmigas Indonesia akan meningkat lantaran dengan perhitungan sederhana, devaluasi sebesar 45% barang (komoditas) Indonesia akan lebih murah 45% bila dibeli dengan dolar Amerika Serikat.
melaluiataubersamaini demikian, barang-barang ekspor nonmigas Indonesia akan mempunyai daya saing lebih kuat di pamasukan internasional.
Untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri dari sektor nonmigas, pemerintah sudah mengambil langkah-langkah khusus untuk menaikkan penerimaan dari ekspor nonmigas, ibarat budi deregulasi dan debirokratisasi.
Jenis barang yang dihasilkan industri dalam negeri setiap tahun mengatakan peningkatan baik jenis maupun nilai ekspor sebagaimana sanggup dilihat perkembangannya. Sejak Repelita I, penerimaan dalam negeri yang bersumber dari penerimaan nonmigas jauh lebih tinggi dari penerimaan migas.
Namun, setelah investor gila menanamkan modal di sektor perminyakan sekitar tahun 1969/1970 (Repelita II) mulai terlihat hasil ekspor migas sudah meningkat lebih tinggi daripada penerimaan ekspor nonmigas (perpajakan dan bukan pajak).
Hingga tahun 1985/1986 (tahun kedua Repelita IV), penerimaan dalam negeri sangat bertumpu pada hasil ekspor migas. Namun, dikala terjadi krisis ekonomi yang melanda dunia di tahun 1980-an, maka hal tersebut sudah berdampak negatif terhadap tingkat harga minyak bumi di pamasukan dunia.
Pamasukan harga minyak bumi semenjak terjadinya krisis ekonomi dunia tidak lagi sanggup diharapkan. Sejak itu harga minyak bumi sudah anjlok dari 25,13 dolar Amerika per barel dalam bulan Januari 1986 turun menjadi 9,83 dolar Amerika per barel dalam bulan Agustus 1986.
Anjloknya harga minyak bumi di pamasukan dunia sudah memengaruhi penerimaan dalam negeri. Dalam upaya memperbaiki keadaan ekonomi dan keuangan negara, menteri keuangan RI pada tanggal 12 September 1986, sudah mengambil tindakan devaluasi rupiah terhadap nilai mata uang gila dan segera mengubah struktur penerimaan dalam negeri dari ketergantungan pada penerimaan migas beralih kepada penerimaan nonmigas.
melaluiataubersamaini devaluasi ini dibutuhkan komoditas nonmigas Indonesia akan meningkat lantaran dengan perhitungan sederhana, devaluasi sebesar 45% barang (komoditas) Indonesia akan lebih murah 45% bila dibeli dengan dolar Amerika Serikat.
melaluiataubersamaini demikian, barang-barang ekspor nonmigas Indonesia akan mempunyai daya saing lebih kuat di pamasukan internasional.
Untuk meningkatkan penerimaan dalam negeri dari sektor nonmigas, pemerintah sudah mengambil langkah-langkah khusus untuk menaikkan penerimaan dari ekspor nonmigas, ibarat budi deregulasi dan debirokratisasi.
Sebaliknya, dengan devaluasi 45% ini berarti barang-barang impor akan meningkat harganya 45% jikalau dibeli dengan rupiah.
Berdasarkan citra perhitungan sederhana ini, maka efek devaluasi yang bisa dibutuhkan ialah di satu pihak ekspor nonmigas akan meningkat, di lain pihak impor akan berkurang. melaluiataubersamaini demikian, neraca pembayaran Indonesia akan sanggup dipertahankan pada tingkat yang sehat.
Berdasarkan citra perhitungan sederhana ini, maka efek devaluasi yang bisa dibutuhkan ialah di satu pihak ekspor nonmigas akan meningkat, di lain pihak impor akan berkurang. melaluiataubersamaini demikian, neraca pembayaran Indonesia akan sanggup dipertahankan pada tingkat yang sehat.
g. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sudah mendorong laju pertumbuhan ekonomi secara nasional yang diukur dengan Produksi Domestik Bruto (PDB).
Tingkat pertumbuhan PDB selama periode 1969–1989 yang diukur atas dasar harga yang berlaku maupun berdasarkan harga konstan mengatakan adanya peningkatan.
Sejak tahun 1969 hingga dengan tahun 1983 yang ialah tahun terakhir Pelita III, tingkat rata-rata pertumbuhannya sebesar 7,2% per tahun.
Selanjutnya, tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi selama Pelita IV yang diukur dengan PDB tahun 1983 sebesar 5,2% per tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata laju pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita IV sebesar 5,0%.
Sementara itu, tingkat pertumbuhan PDB tahun 1989 yang ialah tahun pertama pelaksanaan Pelita V (1989/1990–1993/1994) ialah 7,4%, dan tahun 1990 sebesar 7,4% (tahun kedua).
Dalam tahun-tahun diberikutnya mengatakan laju pertumbuhannya ialah tahun 1991 sebesar 6,8%, tahun 1992 sebesar 6,3%, dan tahun 1993 yang ialah tahun terakhir pelaksanaan Pelita V sebesar 6,0%. Jadi, pertumbuhan ekonomi Pelita V rata-rata ialah 6,9% per tahun.
Berarti lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita V sebesar 5,0%.
Repelita VI (1994/1995–1998/1999) yang ialah tahapan pembangunan lima tahun pertama dalam periode 25 tahun kedua Pembangunan Jangka Panjang (PJP II), pertumbuhan ekonomi yang direncanakan dalam Repelita VI ialah rata-rata 6,2% per tahun.
Tingkat pertumbuhan PDB selama periode 1969–1989 yang diukur atas dasar harga yang berlaku maupun berdasarkan harga konstan mengatakan adanya peningkatan.
Sejak tahun 1969 hingga dengan tahun 1983 yang ialah tahun terakhir Pelita III, tingkat rata-rata pertumbuhannya sebesar 7,2% per tahun.
Selanjutnya, tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi selama Pelita IV yang diukur dengan PDB tahun 1983 sebesar 5,2% per tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata laju pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita IV sebesar 5,0%.
Sementara itu, tingkat pertumbuhan PDB tahun 1989 yang ialah tahun pertama pelaksanaan Pelita V (1989/1990–1993/1994) ialah 7,4%, dan tahun 1990 sebesar 7,4% (tahun kedua).
Dalam tahun-tahun diberikutnya mengatakan laju pertumbuhannya ialah tahun 1991 sebesar 6,8%, tahun 1992 sebesar 6,3%, dan tahun 1993 yang ialah tahun terakhir pelaksanaan Pelita V sebesar 6,0%. Jadi, pertumbuhan ekonomi Pelita V rata-rata ialah 6,9% per tahun.
Berarti lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita V sebesar 5,0%.
Repelita VI (1994/1995–1998/1999) yang ialah tahapan pembangunan lima tahun pertama dalam periode 25 tahun kedua Pembangunan Jangka Panjang (PJP II), pertumbuhan ekonomi yang direncanakan dalam Repelita VI ialah rata-rata 6,2% per tahun.
Post a Comment for "Ciri-Ciri Pokok Dan Hasil-Hasil Kebijakan Dalam Negeri Pada Kala Pemerintahan Orde Baru"