Kondisi Sosial, Politik, Ekonomi Dan Keamanan Bangsa Indonesia Di Banyak Sekali Kawasan Semenjak Reformasi Mei 1998
Berikut ini akan dijelaskan terkena masa reformasi, perkembangan politik pada masa reformasi, perkembangan ekonomi pada masa reformasi, orde reformasi, demokrasi pada masa reformasi.
Kondisi Sosial dan Politik Bangsa Indonesia Sesudah 21 Mei 1998
Perubahan politik di Indonesia semenjak bulan Mei 1998 ialah babak gres bagi penyelesaian duduk masalah Timor Timur.
Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie sudah memperlihatkan pilihan, yaitu pemdiberian otonomi khusus kepada Timor Timur di dalam Negara Kesatuan RI atau memisahkan diri dari Indonesia.
Jajak Pendapat Timor Timur 1999 |
Melalui negosiasi yang disponsori oleh PBB, di New York, Amerika Serikat pada tanggal 5 Mei 1999 ditanhadirani janji tripartit antara Indonesia, Portugal, dan PBB untuk melaksanakan jajak pendapat terkena status masa depan Timor Timur.
PBB kemudian membentuk misi PBB di Timor Timur atau United Nations Assistance Mission in East Timor (UNAMET).
Misi ini bertugas melaksanakan jajak pendapat. Jajak pendapat diselenggarakan tanggal 30 Agustus 1999. Jajak pendapat diikuti oleh 451.792 penduduk Timor Timur menurut kriteria UNAMET.
Jajak pendapat diumumkan oleh PBB di New York dan Dili pada tanggal 4 September 1999. Hasil jajak pendapat memperlihatkan bahwa 78,5% penduduk Timor Timur menolak mendapatkan otonomi khusus dalam NKRI dan 21,5% mendapatkan permintaan otonomi khusus yang ditawarkan pemerintah RI.
Ini berarti Timor Timur harus lepas dari Indonesia. Ketetapan MPR No. V/MPR/ 1999 wacana Penentuan Pendapat Rakyat di Timor Timur menyatakan mencabut berlakunya Tap. MPR No. V/MPR/1978.
Selain itu, mengakui hasil jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999 yang menolak otonomi khusus. Pengalaman lepasnya Timor Timur dari Indonesia menjadikan pemerintah lebih waspada terhadap duduk masalah Aceh dan Papua.
Sikap politik pemerintah di kurun reformasi terhadap penyelesaian duduk masalah Aceh dan Papua dilakukan dengan memdiberi otonomi khusus pada dua kawasan tersebut.
Untuk lebih memdiberi perhatian dan semangat pada penduduk Irian Jaya, di kurun kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid nama Irian Jaya diganti menjadi Papua. Pemerintah sentra juga memdiberi otonomi khusus pada wilayah Papua.
melaluiataubersamaini demikian, pemerintah sudah berusaha merespon sebagian harapan masyarakat Papua untuk sanggup lebih meterbaikkan segala potensinya untuk kesejahteraan rakyat Papua sendiri.
Meskipun begitu, masih saja terjadi perjuangan untuk memisahkan diri dari NKRI, terutama yang dipimpin oleh Theys H. Eluoy, Ketua Presidium Dewan Papua.
Gerakan Papua Merdeka sempat mereda setelah Theys H. Eluoy tewas tertembak pada tanggal 11 November 2001 yang diduga dilakukan oleh beberapa oknum Tentara Nasional Indonesia dari Satgas Tribuana X.
Penyelesaian konflik ibarat itu gotong royong tidak dikehendaki pemerintah, namun ada saja oknum yang memancing di air keruh sehingga mengakibatkan ketegangan.
Keinginan sebagian rakyat untuk merdeka sudah mengakibatkan pemerintah bertindak keras. Apalagi setelah pengalaman Timor Timur dan pemdiberian otonomi khusus pada rakyat tidak mempersembahkan hasil terbaik.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri, Aceh sudah menerima otonomi khusus dengan nama Nanggroe Aceh Darussalam.
Namun, harapan baik pemerintah kurang menerima sambutan sebagian rakyat Aceh. Kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tetap pada tuntutannya, yaitu ingin Aceh merdeka.
Akibatnya, di Aceh sering terjadi gangguan keamanan, ibarat penghadangan dan perampokan truk-truk pembawa kebutuhan rakyat, serta terjadinya penculikan dan pembunuhan pada tokoh-tokoh yang memihak Indonesia.
Agar keadaan tidak makin parah, pemerintah sentra dengan persetujuan DPR, risikonya melaksanakan operasi militer di Aceh. Hukum darurat militer diberlakukan di Aceh.
Para pendukung Gerakan Aceh Merdeka ditangkap. Namun demikian, operasi militer juga tetap saja menyengsarakan masyarakat sipil sehingga diperlukan sanggup segera selesai.
Gejolak politik di kurun reformasi juga ditandai dengan banyaknya teror bom di Indonesia. Teror bom terbesar terjadi di sebuah tempat hiburan di Legian, Kuta, Bali yang menewaskan ratusan orang asing.
Pada tanggal 12 Oktober 2002 bom diberikutnya sempat memporak-porandakan Hotel J.W. Marriot di Jakarta beberapa waktu lalu.
Keadaan yang tidak kondusif dan banyaknya teror bom memperburuk gambaran Indonesia di mata internasional sehingga banyak investor yang batal menanamkan modal di Indonesia.
Kondisi politik Indonesia yang kurang menguntungkan tersebut diperparah dengan tidak ditegakkannya aturan dan hak asasi insan (HAM) sebagaimana mestinya.
Berbagai masalah pelanggaran aturan dan HAM terutama yang menyangkut tokoh-tokoh politik, konglomerat, dan oknum Tentara Nasional Indonesia tidak pernah terselesaikan secara adil dan jujur.
Oleh alasannya itu, rakyat makin tidak percaya pada penguasa meskipun dua kali sudah terjadi pergantian pimpinan negara semenjak Soeharto tidak menjadi Presiden RI.
Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Berbagai Daerah Sejak Reformasi
Tuntutan reformasi menghendaki adanya perubahan dan perbaikan di segala aspek kehidupan yang lebih baik. Namun, pada praktiknya tuntutan reformasi sudah disalahgunakan oleh para petualang politik spesialuntuk untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Pada kurun reformasi, konflik yang terjadi di masyarakat makin simpel terjadi dan sering kali bersifat etnis di banyak sekali daerah.
Kondisi sosial masyarakat yang kacau akhir lemahnya aturan dan perekonomian yang tidak segera kunjung membaik mengakibatkan sering terjadi gesekan-gesekan dalam masyarakat.
Beberapa konflik sosial yang terjadi pada kurun reformasi berlangsung di beberapa wilayah, antara lain sebagai diberikut.
1. Kalimantan Barat
Konflik sosial yang terjadi di Kalimantan Barat melibatkan etnik Melayu, Dayak, dan Madura. Kejadian bermula dari tertangkapnya seorang pencuri di Desa Parisetia, Kecamatan Jawai, Sambas, Kalimantan Barat yang kemudian dihakimi hingga tewas pada tanggal 19 Januari 1999.
Kebetulan pencuri tersebut beretnis Madura, sedangkan penduduk Parisetia beretnis Dayak dan Melayu.
Entah informasi apa yang beredar di masyarakat mengakibatkan penduduk Desa Sarimakmur yang kebanyakan dihuni etnis Madura melaksanakan agresi balas dendam dengan menyerang dan merusak segala sesuatu di Desa Parisetia.
Akibatnya, terjadi agresi saling balas dendam antaretnis tersebut dan menjalar ke banyak sekali kawasan di Kalimantan Barat.
Pemerintah berusaha mendamaikan konflik tersebut dengan mengajak tokoh masyarakat dari masing-masing etnis yang ada untuk membentuk Forum Komunikasi Masyarakat Kalimantan Barat. melaluiataubersamaini wadah tersebut segala permasalahan dicoba diselesaikan secara damai.
2. Kalimantan Tengah
Konflik sosial di Kalimantan Barat ternyata terjadi juga di Kalimantan Tengah. Pada tanggal 18 Februari 2001 pecah konflik antara etnis Madura dan Dayak.
Konflik itu diawali dengan terjadinya pertikaian perorangan antaretnis di Kalimantan Tengah. Ribuan rumah dan ratusan nyawa melayang sia-sia akhir pertikaian antaretnis tersebut.
Sebagian pengungsi dari etnis Madura yang diangkut dari Sampit untuk kembali ke kampung halamannya di Madura ternyata juga mengakibatkan duduk masalah di kemudian hari.
Kondisi Pulau Madura yang kurang menguntungkan mengakibatkan sebagian masyarakatnya menolak kehadiran para pengungsi itu. Sampai kini pun pengungsi Sampit masih menjadi duduk masalah pemerintah.
3. Sulawesi Tengah
Konflik sosial di Sulawesi Tengah tepatnya di kawasan Poso berubah menjadi konflik antaragama. Kejadian bermula dipicu oleh perkelahian antara Roy Luntu Bisalembah (Kristen) yang kebetulan sedang mabuk dengan Ahmad Ridwan (Islam) di bersahabat Masjid Darussalam pada tanggal 26 Desember 1998.
Entah informasi apa yang berkembang di masyarakat perkelahian dua orang tidak sama agama itu berubah menjadi ketegangan antaragama di Poso, Sulawesi Tengah.
Konflik tersebut juga mengakibatkan ratusan rumah dan tempat ibadah hancur. Puluhan, bahkan ratusan nyawa melayang akhir konflik tersebut.
Konflik sempat mereda, tetapi masuknya beberapa orang abnormal ke kawasan konflik tersebut mengakibatkan ketegangan dan kerusuhan terjadi lagi.
Beberapa obrolan digelar untuk meredakan konflik tersebut, ibarat pertemuan Malino yang dilakukan pada tanggal 19–20 Desember 2001.
4. Maluku
Konflik sosial yang dipicu oleh konflik agama juga terjadi di Maluku. Kejadian diawali dengan bentrokan antara masyarakat Batumerah, Ambon, dan sopir angkutan kota pada tanggal 19 Januari 1999.
Kerusuhan Ambon |
Namun, ibarat konflik yang terjadi di wilayah Indonesia lainnya, tanpa tahu informasi apa yang beredar di masyarakat, terjadi ketegangan antarmasyarakat.
Puncaknya terjadi kerusuhan massa dengan disertai pembakaran Masjid Al-Falah. Warga Islam yang tidak terima segera membalas dengan pembakaran dan perusakan gereja.
Konflik meluas menjadi antaragama. Namun, guahnya konflik yang tiruanla antaragama berubah menjadi gerakan separatis.
Sebagian masyarakat Maluku pada tanggal 25 April 2002 membentuk Front Kedaulatan Maluku dan mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di beberapa tempat.
Upaya menurunkan bendera tersebut mengakibatkan korban. Mereka gigih mempertahankannya. Sampai kini konflik Maluku itu belum sanggup diatasi dengan tuntas.
Dari beberapa insiden itu terlihat betapa di kurun reformasi terjadi pergeseran pelaku kekerasan. Di kurun orde baru, kekerasan lebih banyak dilakukan oleh oknum ABRI daripada masyarakat sipil.
Namun, pada kurun reformasi kekerasan justru diperlihatkan oleh sesama masyarakat sipil. Masyarakat makin diberingas dan aturan ibarat tidak ada.
Banyak insiden kriminal yang pelakunya tertangkap tangan pribadi dihakimi bahkan hingga meninggal oleh masyarakat.
Kinerja para penegak aturan tampaknya sudah tidak sanggup mendapatkan amanah lagi. Masyarakat sudah muak melihat banyak sekali masalah besar yang melibatkan pejabat negara dan oknum militer tidak tertangani hingga tuntas meskipun mereka ditetapkan bersalah.
Sedangkan terkena duduk masalah ekonomi, selama masa tiga bulan kekuasaan pemerintah B.J. Habibie, ekonomi Indonesia belum mengalami perubahan yang berarti.
Enam dari tujuh bank yang sudah dibekukan dan dilikuidasi pemerintah pada bulan Agustus 1998. Nilai rupiah terhadap mata uang abnormal masih tetap lemah di atas Rp10.000,00 per dolar Amerika Serikat.
Persediaan sembilan materi pokok di pamasukan juga makin berkurang dan harganya meningkat cepat. Misalnya, pada bulan Mei 1998, harga satu kilogram beras rata-rata Rp1.000,00, namun harga tersebut sempat naik menjadi di atas Rp3.000,00 per kilogram pada bulan Agustus 1998.
Antrian panjang masyarakat membeli beras dan minyak goreng mulai terlihat di banyak sekali tempat. Oleh alasannya keadaan ekonomi yang parah mengakibatkan rakyat Indonesia melaksanakan segala tindakan untuk sekadar sanggup mencukupi kebutuhan.
Penjarahan yakni pemandangan biasa yang dijumpai pada awal-awal pemerintahan Presiden B.J. Habibie.
Penjarahan mereka lakukan terhadap tempat-tempat yang sanggup memmenolong kelangsungan hidup. Kayu-kayu di hutan lindung mereka tebangi, tambak udang dan ikan bandeng yang siap pguan mereka sikat, lahan-lahan pulas milik orang kaya terutama mantan para penguasa orde gres mereka tempati.
Mereka dengan mengatasnamakan rakyat kecil atau wong cilik melaksanakan tindakan itu tiruana. Pemerintah yang tidak berwibawa tidak bisa mengatasi tiruana itu.
Aparat penegak aturan pun tidak berkutik dibuatnya. Pemerintah Indonesia pun gotong royong berusaha memulihkan keadaan ekonomi nasional dengan menjalin kolaborasi dengan Bank Dunia (World Bank)
dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Namun, budi ekonomi pemerintah Indonesia atas masukan dua forum keuangan dunia malah memperburuk situasi ekonomi nasional.
Dua forum keuangan dunia itu menyarankan biar subsidi pemerintah untuk listrik, BBM, dan telepon dicabut.
Akibatnya, terjadi kenaikan biaya pada ketiga sektor tersebut sehingga rakyat makin terjepit. Atas desakan rakyat Indonesia, risikonya pemerintah menetapkan korelasi dengan dua forum keuangan pada masa pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri.
Para pemilik bank (bankir) di Indonesia juga ikut memperburuk keadaan dengan membawa lari dana penyehatan bank (dana BLBI) yang mereka terima.
Maksud pemerintah gotong royong baik, yaitu ikut memmenolong menyehatkan bank akhir krisis keuangan yang menimpa. Akan tetapi, mental mereka memang sudah rusak sehingga dana itu malah digunakan untuk hal lain sehingga mereka tidak bisa mengembalikan.
Sungguhpun begitu, pemerintah tetap berusaha memulihkan keadaan ekonomi Indonesia. Segala cara dilakukan biar rakyat segera terlepas dari krisis ini.
Partisipasi dari setiap masyarakat negara sangat diperlukan untuk sanggup segera memulihkan keadaan mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Post a Comment for "Kondisi Sosial, Politik, Ekonomi Dan Keamanan Bangsa Indonesia Di Banyak Sekali Kawasan Semenjak Reformasi Mei 1998"