Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Dualisme Kepemimpinan Nasional Indonesia Dan Isi Pidato Nawaksara Soekarno

Dibawah ini akan diuraikan tentang dualisme kepemimpinan nasional, dualisme kepemimpinan, kabinet ampera, latar belakang lahirnya orde baru, nawaksara, pidato soekarno, pidato nawaksara, isi nawaksara.

Dualisme Kepemimpinan Nasional

Memasuki tahun 1966 terlihat tanda-tanda krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada dualisme kepemimpinan. Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden, namun pamornya sudah kian merosot. 

Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak biar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabanannya hingga dua kali oleh MPRS. 

Sementara itu Soeharto sehabis menerima Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin populer. 

Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, didiberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang didiberi nama Kabinet Ampera.

Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan kiprah harian dipegang oleh Soeharto. 

Kondisi menyerupai ini berakibat pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. 

Presiden Soekarno sudah tidak banyak melaksanakan tindakan-tindakan pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan. 

Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini balasannya mengakibatkan perperihalan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto. Hal ini terperinci membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam Sidang MPRS yang digelar semenjak final bulan Juni hingga awal Juli 1966 menetapkan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. 

melaluiataubersamaini dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara aturan Supersemar tidak lagi sanggup dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno.

Bahkan sebaliknya secara aturan Soeharto memiliki kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS.

Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku Presiden. Secara eksplisit ditetapkan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi mengandung kekuatan hukum. 

Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabanannya yang didiberi judul “Nawaksara”.

Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno memberikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah. 

Pidato itu memang meliputi sembilan pokok duduk masalah yang dianggap penting oleh presiden Soekarno selaku mandataris MPR. 

Isi pidato tersebut spesialuntuk sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya insiden berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. 

Pengabaian insiden yang menjadikan gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat itu tidak memuaskan anggota MPRS. 

Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS menetapkan untuk minta kepada presiden biar melengkapi laporan pertanggung jawabanannya, khususnya terkena sebab-sebab terjadinya insiden Gerakan 30 September beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak.

Pada tanggal 10 Januari 1967 Presiden memberikan surat kepada pimpinan MPRS yang meliputi Pelengkap Nawaksara. 

Dalam Pelnawaksara itu presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS spesialuntuk mempertanggungjawabankan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain. Nawaksara baginya spesialuntuk sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela. 

Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabankan terjadinya insiden Gerakan 30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak.

Sementara itu, sebuah kabinet gres sudah terbentuk dan didiberi nama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini memiliki kiprah pokok untuk membuat stabilitas politik dan ekonomi. 

Program kabinet tersebut antara lain yaitu memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan, dan melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. XI/MPRS/1966.

Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, Presiden Soekarno yaitu pemimpin Kabinet. Akan tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan kiprah harian dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letnan Jenderal Soeharto.

Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap Nawaksara” dan bertambah gawatnya keadaan politik pada 9 Februari 1967 DPRGR mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS biar mengadakan Sidang Istimewa. 

Sementara itu usaha-usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan pendekatan eksklusif kepada Presiden Soekarno biar ia menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. 

Hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan forum kepresidenan dan eksklusif Presiden Soekarno.

Salah seorang teman bersahabat Soekarno, Mr. Hardi, menemui Presiden Soekarno dan memohon biar Presiden Soekarno membuka prakarsa untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara, lantaran dualisme kepemimpinan inilah yang menjadi sumber konflik politik yang tidak kunjung berhenti. 

Mr. Hardi menyarankan biar Soekarno sebagai mandataris MPRS, menyatakan non aktif di depan sidang Badan Pekerja MPRS dan menyetujui pembubaran PKI.

Presiden Soekarno menyetujui masukan Mr. Hardi. Untuk itu disusunlah “Surat Penugasan terkena Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966.

Kemudian, Presiden menulis nota eksklusif kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. 

Pada 8 Februari 1967, Soeharto mengulas surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak sanggup diterima lantaran bentuk surat penugasan tersebut tidak memmenolong menuntaskan situasi konflik. 

Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967. Presiden menanyakan kemungkinan mana yang terbaik. 

Soeharto mengajukan draft meliputi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966. 

Pada awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan tawaran draft tersebut, namun kemudian perilaku Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan biar Soeharto beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967, Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu sudah ditanhadirani oleh Presiden. 

Ia meminta biar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.

Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution.

Sesudah setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS. 

Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru. 

Sumber http://www.kuttabku.com

Post a Comment for "Sejarah Dualisme Kepemimpinan Nasional Indonesia Dan Isi Pidato Nawaksara Soekarno"