Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Perkembangan Seni Di Indonesia Pada Kurun Prasejarah Dan Kurun Modern Atau Kontemporer

Berikut ini akan kita bahas terkena perkembangan seni di indonesia, perkembangan seni rupa di indonesia, seni rupa prasejarah, seni kontemporer, seni rupa modern.

Perkembangan Seni di Indonesia

Sejarah perkembangan seni tidak berdiri sendiri melainkan terintegrasi dalam bentuk kebudayaan itu sendiri, alasannya yakni seni ialah unsur dari kebudayaan. 

Oleh alasannya yakni itu, mengulas ihwal perkembangan seni dilakukan dengan mempelajari perkembangan kebudayaan melalui pendekatan pengamatan bidang seni. 

Fakta memperlihatkan bahwa salah satu ciri khas kebudayaan Indonesia dibandingkan kebudayaan negara lain yakni keseniannya. Banyak wisatawan mancguagara yang mengagumi Indonesia melalui kesenian. 

Sangatlah sempurna kiranya, kalau pemerintah selalu mengirimkan duta seninya ke manca negara untuk menarikdanunik wisatawan absurd semoga menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan wisata.

Dalam penggalan diberikut ini secara ringkas akan kita telusuri bersama jejak perkembangan seni, khususnya yang meliputi beberapa aspek seni rupa, seni sastra dan seni pertunjukan sebagai penggalan dari sejarah kebudayaan Indonesia.

Masa Protosejarah

Kebudayaan ada semenjak insan ada, alasannya yakni manusialah yang membuat suatu bentuk kebudayaan. Seperti diungkapkan oleh para hebat purbakala, bahwa kehidupan insan sudah mengalami proses evolusi yang sangat panjang dengan memakan waktu jutaan tahun untuk membentuk teladan kehidupan insan mirip yang ada sekarang. 

Menurut penelitian para hebat purbakala, insan ialah satu jenis makhluk yang sudah mengalami proses evolusi dari sejenis makhluk primata semenjak sekitar 70.000.000 tahun yang lalu. 

Keberadaan insan purba banyak diketahui para hebat purbakala melalui penemuan-penemuan fosil insan purba. Fosil-fosil insan purba yang ditemukan di Indonesia sebagai diberikut.
  1. Pada tahun 1898, Eugene Dubois, seorang dokter Belanda menemukan fosil insan purba di lembah sungai Bengawan Solo, erat Desa Kedung Brubus, kemudian ditemukan lagi di daerah Trinil, Jawa Timur. Fosil insan purba inovasi Dubois tersebut didiberi nama Pithecanthropus Erectus, yang berarti insan monyet yang berjalan tegak.
  2. Pada tahun 1931 dan 1934, spesialis geologi Jerman GHR von Koenigswald menemukan fosil serupa di erat Desa Ngandong, di lembah Bengawan Solo, sebelah utara Trinil.
  3. Pada tahun 1941 di erat Sangiran, Surakarta, GHR Von Koenigswald menemukan fosil serupa, tetapi mempunyai struktur badan dengan ukuran yang luar biasa besarnya, sehingga disebut sebagai fosil Meganthropous Palaeojavanicus.
Penemuan-penemuan fosil disertai dengan adanya inovasi alat-alat sebagai penggalan dari kehidupannya. Hal itu memperlihatkan bahwa insan purba sudah mengenal kebudayaan.

Adanya peralatan kerikil yang ditemukan di erat inovasi fosil insan purba memperlihatkan bahwa insan purba sudah mempunyai kebudayaan dalam bentuk peralatan yang terbuat dari batu. 

Lebih jauh penguasaan insan purba terhadap unsur-unsur kebudayaan usang (primitif), nampak dengan ditemukannya banyak sekali gambar-gambar sederhana yang terlukis di dinding langit-langit gua tempat kediaman insan purba.
  1. Gua-gua di teluk Mc Cluer dan Teluk Triton, Papua. Pada penggalan dinding gua dan karang dijumpai banyak lukisan yang berguaka ragam, seperti: cap tangan, gambar orang, ikan, perahu, binatang melata, cap kaki, garis-garis geometrik maupun coretan lukisan abstrak.
  2. Gua-gua di Kepulauan Kai, Pulau Seram, dan Maluku. Di tempat tersebut banyak dijumpai lukisan di dinding gua dengan dominasi warna merah dan putih. Adapun objek lukisannya tidak jauh tidak sama dengan yang ditemukan di Papua.
  3. Gua leang-leang di Sulawesi Selatan. Pada dinding langit-langit gua ditemukan banyak sekali corak lukisan dari gambar binatang atau bentuk organ badan yang nyata juga coretan-coretan absurd dengan dominasi warna merah. Sementara temuan lukisan yang serupa pada dinding gua di Pulau Muna, Sulawesi tengah banyak di dominasi warna coklat.
  4. Gua Sodong di Besuki-Jawa Timur. Gambar-gambar sederhana yang terdapat di dinding gua tempat kediaman insan purba tersebut memperlihatkan bahwa insan purba sudah mulai mengenal seni lukis sebagai bentuk ungkapan perasaan. Gambar-gambar tersebut ialah penggalan dari wujud kebudayaan.
Di samping temuan gambar atau coretan di gua, juga ditemukan objek lukisan dalam bentuk relief, antara lain manusia, binatang dan pola-pola geometris yang terdapat pada sarkofagus yang ditemukan di Bondowoso dan Bali. Relief serupa juga ditemukan pada tutup dolmen yang ditemukan di Desa Tlogosari, Bondowoso.

Penemuan banyak sekali jenis patung kerikil maupun patung perunggu memperlihatkan kemajuan seni patung yang ialah penggalan dari seni rupa.

Benda-benda seni yang ialah bentuk kebudayaan insan proto sejarah, banyak ditemukan di Indonesia dalam bentuk bangunan megalitik. Bangunan megalitik, yaitu bangunan kerikil besar yang dibuat berkaitan dengan unsur kepercayaan pada waktu itu, yaitu menyembah roh nenek moyang. Peninggalan tersebut antara lain berupa:
  1. Menhir, yaitu bangunan berwujud tugu batu.
  2. Dolmen, yaitu bangunan kerikil ibarat meja besar. Dolmen diduga sebagai tempat sesaji.
  3. Sarkofagus yakni bangunan yang berfungsi sebagai keranda jenazah. Sarkofagus terbuat dari kerikil dengan cekungan di dalamnya.
Di samping benda-benda tersebut juga ditemukan tambahan dari kerikil ataupun manik-manik yang diduga sebagai penggalan dari benda-benda perhiasan, benda-benda keperluan sehari-hari, dan rangkaian dari benda-benda upacara ritual.

Keberadaan benda-benda tersebut sekaligus memperlihatkan perkembangan seni kerajinan sebagai penggalan dari seni rupa pada masa prasejarah. Manik-manik yang terbuat dari materi beling banyak ditemukan di daerah: Sumatra Selatan, Jawa, Timur, dan Bali. 

Adapun manik-manik yang ditemukan di guagua pada umumnya terbuat dari kulit kerang. Beberapa jenis gelang, cincin perunggu banyak ditemukan di daerah Pasemah, Sumatra Selatan.

Perkembangan zaman menimbulkan pula perkembangan tingkat kecerdasan manusia. Hal itu diwujudkan dalam bentuk peningkatan kemampuan insan membuat alat-alat yang tiruanla terbuat dari kerikil ke logam.

Berbagai benda-benda peninggalan zaman perunggu di daerah Asia Tengara, pertama kali ditemukan di Dongson, Vietnam Utara berupa kuburan renta meliputi benda-benda dari perunggu dan besi. Di antara benda-benda tersebut, antara lain nekara (genderang perunggu), alat-alat berupa kapak
perunggu dengan guaka bentuk, warna dan ukuran, alat-alat perunggu, bejana-bejana perunggu, tambahan berupa gelang dan manik-manik, serta arca-arca perunggu.

Hal yang menarikdanunik dari benda-benda tersebut yakni adanya hiasan bergambar terutama pada nekara. Keberadaan hiasan pada benda-benda yang terbuat dari logam tersebut memperlihatkan sudah terjadi perkembangan kebudayaan manusia, khususnya dalam bidang seni rupa.

Nekara yang berukuran kecil dan berbentuk ramping disebut moko atau mako. Di Indonesia benda-benda perunggu dari zaman protosejarah ditemukan di daerah: Sumatra, Jawa, Bali, Nusa Tenggara , Sangean (Sumbawa), Rote, Leti, Selayar, Kei, Alor, Timor, dan Papua (Sentani).

Masa Kontemporer/Modern

Ilmu pengetahuan dan teknologi, ialah faktor utama dalam memilih perkembangan teladan kebudayaan masyarakat. Perubahan lingkungan sosial terus berlangsung seiring dengan perkembangan manusia, sehingga menimbulkan makin berkembangnya kebudayaan. 

Salah satu hal yang menandai perkembangan kebudayaan masyarakat yakni proses penyebaran kebudayaan dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal tersebut menimbulkan makin banyaknya corak kebudayaan sebagai akhir percampuran kebudayaan (akulturasi).

a. Perkembangan seni pada masa kebudayaan Hindu – Buddha

Di Indonesia imbas kebudayaan Hindu mewarnai teladan kebudayaan masyarakat semenjak kala ke-4 Masehi. Bukti adanya imbas kebudayaan Hindu di Indonesia yakni berupa kerikil bertulis (prasasti) yang ditemukan di pedalaman daerah Sungai Cisadgua, erat Bogor, kerikil bertulis di daerah Muara Kaman, Kutai, Kalimantan Timur.

Tulisan-tulisan yang terpahat di kerikil tersebut memakai huruf Pallawa. Dalam goresan pena tersebut, antara lain mengungkapkan ihwal keadaan kerajaan-kerajaan pada masa itu. melaluiataubersamaini demikian sanggup dipastikan bahwa masuknya kebudayaan Hindu dikarenakan para raja mengundang ahli-ahli dan orang pintar dari golongan Brahmana (pendeta) di India selatan yang beragama Wisnu atau Brahma. 

Mereka diminta raja untuk memimpin upacara-upacara keagamaan yang diselenggarakan oleh kerajaan, di samping sebagai penasihat spiritual serta penasihat di bidang pemerintahan/kenegaraan. melaluiataubersamaini demikian imbas kebudayaan Hindu pada masa itu terbatas pada kalangan kerajaan dan keluarganya saja.

Berbagai benda bersejarah peninggalan kebudayaan Hindu di Indonesia terutama menyangkut peninggalan masa kejayaan suatu kerajaan. Benda peninggalan tersebut pada umumnya berbentuk bangunan yang fungsinya berkaitan dengan sistem religi, sedangkan corak pembuatannya memperlihatkan tingginya tingkat peradaban pada masa itu.

1) Perkembangan Seni Rupa

Berbagai bentuk candi maupun arca peninggalan zaman kerajaan Hindu memperlihatkan perkembangan
seni bangunan (relief) yang sekaligus memperlihatkan perkembangan seni rupa pada masa Indonesia kuno. 

Demikian halnya dengan masuknya anutan agama Buddha di Indonesia sudah kuat terhadap teladan bangunan candi pada masa itu. Salah satu peninggalan sejarah kebudayaan Buddha di Indonesia, contohnya Candi Borobudur. Candi Borobudur ialah bentuk peninggalan sejarah pada masa kerajaan Mataram kuno yang mendapat imbas kebudayaan Buddha.

2) Perkembangan Seni Sastra

Perkembangan bidang seni sastra di Indonesia pada masa kebudayaan Hindu-Buddha, sanggup kita temukan dalam bentuk sebagai diberikut.
  1. Prasasti yakni kerikil bertulis yang memperlihatkan kemajuan seni sastra berupa goresan pena yang dituangkan dalam bentuk relief (seni cetak). Misal: prasasti Kedukan Bukit (683 M) di daerah Kedukan Bukit, tepi sungai Tatang, Palembang; prasasti Talang Tuo (684 M) ditemukan di Talang Tuo, Palembang; dan Prasasti Palas Pasemah di Lampung.
  2. Masa kejayaan Sriwijaya pada kala ke-7 dan ke- 8 Masehi menempatkan Sriwijaya sebagai sentra ilmu pengetahuan agama Buddha. Pada masa itu ada salah seorang pendeta Buddha berjulukan Sakyakirti. Sakyakirti banyak mempersembahkan bimbingan kepada anakdidik-anakdidiknya, antara lain I Tsing dari Cina. I-Tsing didiberi kiprah khusus menerjemahkan kitab suci agama Buddha.
  3. Pada zaman pemerintahan Empu Sindok (929 – 947), disusun kitab suci agama Buddha Tantrayana yang berjudul “Sang Hyang Kamahayanikan”.
  4. Pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (1350– 1389), yang ialah salah satu raja Majapahit. Kerajaan Majapahit ialah kerajaan yang bercorak Hindu. Pada masa itu, Patih Gajah Mada menyusun Kitab Hukum Kutaragama. Empu Prapanca, seorang pujangga kerajaan berhasil mengarang Kitab Negarakertagama (1365). Kitab Negarakertagama meliputi ihwal sejarah Kerajaan Singasari dan Majapahit. Empu Tantular yang berhasil menulis Kitab Sutasoma.
  5. Pada zaman keemasan kerajaan Kahuripan hingga zaman kerajaan Kediri (1045 – 1222) seni sastra berkembang pesat, antara lain adanya buku-buku sastra karangan pujangga masa itu. Buku-buku sastra yang dimaksud, yaitu Kitab Smaradahana (Empu Darmaja), Kitab Baratayuda (Empu Sedah dan Empu Panuluh), Kitab Lubdhaka dan Wrata (Empu Tanakung), dan kitab Arjunawiwaha (Empu Kanwa).

3) Perkembangan Seni Pertunjukan

Perkembangan seni pertunjukan pada masa Indonesia kuno sanggup diketahui melalui goresan pena pada prasasti-prasasti, relief-relief candi, dan kitab-kitab sastra yang ada. Secara khusus tidak ada prasasti yang menuliskan ihwal adanya suatu bentuk pertunjukan seni, namun pemakaian kata-kata yang bermakna ihwal seni pertunjukan sering muncul dalam prasasti, kitab sastra, ataupun relief pada candi. 

Kitab sastra dan relief tersebut dipergunakan para hebat etnografi untuk menyimpulkan bahwa pada masa itu, seni pertunjukan yang berkaitan dengan seni musik dan seni tari sudah berkembang dengan baik. Beberapa kosakata yang ada pada prasasti, relief candi, ataupun buku sastra pada masa Indonesia kuno diidentikkan dengan perkembangan seni pertunjukan, antara lain:
  1. adanya kata-kata: mrdangga, padahi, tuwung, curing, dan murawa yang ada dalam prasasti ialah sebutan untuk jenis-jenis alat musik pada masa Indonesia kuno;
  2. kata-kata: widu mangidung, yang sering muncul di prasasti memperlihatkan makna “menyanyi“ (seni vokal);
  3. kata-kata mangigel atau anigelaken dan mamirus yang berarti tari topeng memperlihatkan perkembangan seni tari pada masa itu;
  4. relief-relief yang terdapat pada dinding candi Borobudur menggambarkan alat musik petik, siter dan kecapi, alat musik kendang dan alat musik tiup, menujukkan pada masa itu sudah berkembang seni musik;
  5. relief-relief yang terdapat pada dinding candi Sukuh, Tawangmangu, Jawa Tengah memperlihatkan gambar terompet dan alat musik bendhe. Pilihan pembuat candi menggambarkan relief ihwal alatalat musik tersebut memperlihatkan bahwa pada masa itu sudah berkembang seni pertunjukan musik dan tari di tengah kehidupan masyarakat. Relief candi pada hakikatnya ialah bentuk kegiatan mendokumentasikan teladan sikap masyarakat pada masa itu;
  6. beberapa kitab sastra yang disusun oleh para pujangga kerajaan pada masa Indonesia kuno sudah memasukkan beberapa kata dan kalimat yang memperlihatkan makna adanya suatu bentuk seni pertunjukan, baik yang meliputi beberapa aspek seni musik maupun seni tari, kitab sastra tersebut sebagai diberikut.
  • Dalam kitab Arjunawiwaha, disebutkan “ … ghurna ng gong bheri ..”
  • Dalam kitab Sutasoma dituliskan “ …munyang gong pangarah .. “
  • Dalam kitab Lubdhaka, dituliskan “… rojeh gong gumuruh ..”
  • Dalam kitab Hariwangsa, dituliskan “ … rojeh gong grebeg ning bala … “
Kata-kata “gong” pada kalimat tersebut memperlihatkan makna sebagai alat musik tradisional, yang hingga kini masih dipergunakan sebagai salah satu dari alat musik tradisional Jawa.
  • Demikian pula dalam Kitab Smaradahana, Hariwangsa, dan Tantri Kamandaka dituliskan alat musik kendang dengan istilah “tabehtabehan” atau “ tetabuhan”.
  • Dalam Kitab Arjunawiwaha juga dituliskan ihwal alat musik simbal yang disebut sebagai “barebet “.
  • Dalam Kitab Malat terdapat goresan pena alat musik gambang, yakni salah satu alat musik tradisional Jawa yang berupa rangkaian bilahan kayu dengan nada tidak sama-beda dibunyikan dengan dua alat pemukul yang penggalan pemukulnya lingkaran pipih.
  • Dalam Kitab Malat juga dituliskan ihwal pemakaian alat musik rebab (jenis alat musik gesek tradisional Jawa) dalam kalimat “…. rebab muni alangu …“, serta sebut alat musik kecapi dengan istilah kacapi atau kachapi.
  • Dalam Kitab Kidung Harsawijaya, terdapat kata-kata angidung, yang berarti menyanyi, angringgit yang berarti memainkan wayang (ringgit = wayang), guapuk atau anapuk yang berarti menari topeng, dan amidu atau widu yang mengandung makna menyanyi, serta agugujegan yang berarti melucu atau melawak.
Berdasarkan keterangan di atas, sanggup disimpulkan bahwa pada masa Indonesia kuno, masyarakat sudah mengenal seni pertunjukan yang terdiri atas seni vokal (menyanyi), seni musik (gamelan), dan seni tari.

Dalam bidang seni pertunjukan imbas kebudayaan Hindu memunculkan banyak sekali bentuk seni tari maupun seni drama tradisional yang masih lestari hingga kini, antara lain:
  • wayang orang ataupun wayang kulit yang mengambil dongeng dari kisah Mahabharata dan Ramayana;
  • drama tari topeng yang mengambil kisah dongeng panji;
  • tari topeng panji, tari topeng rumyang dan tari topeng tumenggungan dari Cirebon;
  • tari klono topeng dan tari pegunungan sari, di Jawa Tengah.

b. Perkembangan seni pada masa kebudayaan Islam 

Kehadiran pedagang-pedagang dari Parsi dan Gujarat ke Indonesia pada kala ke-13 ialah tonggak sejarah masuknya anutan agama Islam ke Indonesia. Masuknya anutan Islam ke Indonesia sudah kuat terhadap kebudayaan masyarakat Indonesia.

1) Perkembangan Seni Rupa

Pengaruh kebudayaan Islam yang menonjol yakni goresan pena kaligrafi, seni baca al-Qur’an, dan kesenian musik rebana/khazidahan. Pengaruh kebudayaan Islam terhadap perkembangan seni rupa Indonesia tidak terbatas pada lukisan (kaligrafi) melainkan juga pada seni bangunan (arsitektur). 

Seni bangunan yang ialah bentuk peninggalan kebudayaan Islam yakni bangunan masjid. Seni arsitektur masjid di Indonesia pada umumnya tidak sepenuhnya memakai unsur kebudayaan Islam melainkan masih dipadukan dengan unsur-unsur etnis yang mewakili kebudayaan pra-Islam. 

Hal itu tampak terperinci pada bangunan masjid kuno yang ada di Indonesia. Bangunan masjid Agung di keraton Surakarta, contohnya tetap mempertahankan unsur kebudayaan Jawa dalam bentuk atap limasan dan hiasan tabrakan yang mengingatkan kita pada kebudayaan Hindu.

2) Perkembangan Seni Sastra

Perkembangan bidang seni sastra pada masa awal penyebaran agama Islam di Indonesia sebagai diberikut.
  1. Pada kala ke-17, agama Islam sudah berkembang di Sulawesi Selatan, sehingga kesusastraan Bugis dan Makassar ditulis dalam huruf Arab yang disebut huruf Serang.
  2. Pada masa Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin Sultan Agung (1613 – 1645) imbas kesusasteraan Islam terhadap kebudayaan Jawa tampak dalam bentuk perhitungan kalender yang dikenal sebagai “tahun Jawa”. Sistem kalender tersebut dihitung berdasarkan peredaran bulan (tarikh komariah) sesuai dengan perhitungan kalender Islam.
  3. Perkembangan sastra pada masa awal penyebaran agama Islam di daerah Melayu (kawasan Sumatra dan sekitarnya) muncul sastra saduran yang bersumber pada karya-karya sastra Persia serta karya-karya sastra Jawa. Karya-karya sastra yang diterbitkan di daerah Melayu ditulis dalam huruf Arab, sedangkan karya sastra saduran yang diterbitkan di Jawa ditulis dengan huruf Jawa dan huruf Arab. Karya-karya sastra saduran dari Persia berkaitan dengan dongeng terkena Bayan Budiman, Amir Hamzah, dan Cerita Seribu Satu Malam. Beberapa karya sastra saduran pada masa itu, antara lain:
• Hikayat Bayan Budiman,
• Hikayat Ghulam,
• Hikayat Azbak,
• Hikayat Zadabaktin,
• Hikayat Amir Hamzah, dan
• Hikayat Bakhtiar.

Karya sastra saduran yang berlatar belakang sejarah kepahlawanan, antara lain:

• Hikayat Raja-Raja Pasai,
• Hikayat Hang Tuah,
• Sejarah Melayu, dan
• Hikayat Silsilah Perak.

Beberapa karya sastra saduran yang bersumber dari karya sastra kuno Jawa, antara lain:

• Hikayat Sri Rama,
• Hikayat Perang Pandawa Jaya, dan
• Hikayat Pandawa Lima.

4. Salah satu jenis sastra yang berkembang pesat pada masa awal pernyiaran agama Islam di Indonesia yakni jenis sastra yang disebut suluk. Istilah suluk berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan. Suluk ialah jenis sastra gaib Islam atau tasawuf, sedangkan makna suluk ialah jalan atau proses untuk mendekatkan diri dalam menemukan hakikat Ilahi. Karya-karya sastra suluk, antara lain:

• Suluk Sukarsa,
• Suluk Malang Sumirang,
• Syair Perahu,
• Suluk Wijil, dan
• Syair Si Burung Pingai, karya Hamzah Fansuri.

5.  Karya-karya sastra saduran jenis suluk yang berkembang di Jawa, antara lain:

• Serat Rengganis,
• Serat Menak, ialah saduran Hikayat Amir Hamzah,
• Serat Kanda, dan
• Serat Ambiya.

3) Perkembangan Seni Pertunjukan

Seni pertunjukan khususnya di Jawa berkembang seiring dengan kegiatan dakwah oleh Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga, salah satu dari Walisanga dan tokoh penyebar agama Islam di Pulau Jawa, memakai media wayang kulit sebagai media dakwah.

Seni pertunjukan wayang kulit yang hingga kini tetap digemari oleh masyarakat Jawa (khususnya Jawa Tengah dan DIJ) gotong royong ialah hasil penyempurnaan yang dilakukan oleh Walisanga pada masa kerajaan Islam di Demak kala ke-17.

Dari wayang kulit inilah berkembang muncul banyak sekali jenis wayang, antara lain wayang golek dan wayang tengul. Wayang golek dan wayang tengul ialah jenis boneka kayu yang mengambil karakter tokoh dari wayang kulit, wayang krucil, dan wayang gedog.

Perkembangan agama Islam yang kian pesat di Indonesia sudah memengaruhi terhadap teladan kebudayaan masyarakat, contohnya seni berpakaian. Dalam seni berpakaian, imbas kebudayaan Islam tampak dalam bentuk model baju koko pada kemeja pria dan guaka corak peci yang mendapat imbas dari kebudayaan Timur Tengah.

c. Perkembangan seni pada masa penjajahan

Pada masa pemerintah kolonial Belanda berkuasa di Indonesia segala seuatu yang berkaitan dengan kegiatan masyarakat mendapat pengawasan yang ketat dari pemerintah Belanda. Demikian halnya dengan perkembangan seni, pemerintah kolonial Belanda mempersembahkan peluang kepada masyarakat untuk mewujudkan apresiasi seni sepanjang menguntungkan bagi kelangsungan kekuasaan penjajah.

1) Perkembangan seni rupa pada masa penjajahan

Pada masa penjajahan Belanda perkembangan seni rupa, khususnya seni lukis memperoleh angin segar. Pada masa VOC, pemerintahan Heeren XVII mengeluarkan peraturan yang sangat menguntungkan bagi perkembangan seni lukis di Indonesia. 

Isi peraturan tersebut, yaitu setiap kapal yang melaksanakan ekspedisi pelayaran ke Indonesia harus menyertakan pelukis-pelukis atau juru gambar (teekenaars). 

Di samping memenuhi cita-cita VOC, para juru gambar itu pun memakai peluang berkunjung ke Indonesia untuk berbagi kreativitasnya dalam melukis. Di antara karya lukisan populer yang dihasilkan pada ketika itu, antara lain:
  • “Ienteng Pengawal Seorang Pangeran Banten” yang dibuat pada tahun 1596.
  • “Delegasi Diplomatik Pembawa Surat untuk Sultan Ageng Tirtayasa” yang dibuat pada tahun 1673.
Lukisan-lukisan tersebut hingga kini masih tersimpan dengan baik di museum Belanda. Menjelang pecah Perang Dunia II, beberapa pelukis Belanda hadir ke Indonesia, antara lain Wolter Spies, Rudolf Bonnet, dan Niewenkamp.

Kehadiran mereka sangat kuat terhadap perkembangan seni lukis Indonesia terutama dalam hal gaya-gaya lukisan yang dianut pelukis Eropa tersebut, contohnya aliran Kubisme, Ekspresionisme, Surialisme atau Simbolisme. Adapun pelukis-pelukis populer dari Indonesia pada masa penjajahan Belanda, antara lain Affandi, R. Saleh, dan Basuki Abdullah.

Terbukanya peluang bagi seniman lukis untuk berkarya pada masa VOC berkuasa, memunculkan semangat para seniman lukis muda untuk membentuk perkumpulan yang menampung kegiatan melukis.

Pada tahun 1935 di Bandung muncul kelompok pelukis yang dipimpin Affandi dengan nama “Kelompok Lima” dengan beranggotakan Hendra Gunawan, Wahdi, Soedarso dan Barli. Secara belajar sendiri (tanpa guru) mereka berguru melukis bersama dengan praktik menggambar eksklusif tanpa berbekal pengetahuan ihwal anatomi maupun metode melukis.

melaluiataubersamaini berbekal kemampuan talenta alam, mereka berlima mempraktikkan melukis banyak sekali objek tanpa sasaran tertentu. Mereka banyak melukis spanduk, membuat poster atau iklan bioskop, dan membuat reproduksi foto-foto. Hasil lukisan mereka sangat banyak peminatnya meskipun dengan otodidak. Hal itu menjadi awal perkembangan seni lukis modern di Indonesia.

Pada tahun 1937 di Jakarta terbentuk kelompok pelukis yang didiberi nama Peragi (Persatuan Ahli gambar Indonesia) dengan beranggotakan Otto Djaja, Agus Dhaha, Soedjojono, Mochtar Aoin, dan Emiria Sunarsa. Perkumpulan tersebut tetap dipertahankan keberadaannya hingga Jepang masuk dan menguasai Indonesia. 

Bahkan pemerintah kolonial Jepang memanfaatkan perkumpulan tersebut sebagai alat propagandanya. Hal itu menjadikan awal tolak kebangkitan para seniman khususnya pelukis Indonesia dalam hal berekspresi. Untuk menarikdanunik simpatik kalangan seniman Indonesia, pemerintah Jepang mendirikan Pusat Kebudayaan lengkap dengan masukana untuk berbagi seni lukis. 

Pada masa itu, kegiatan berguru melukis berlangsung dengan baik. Di sentra kebudayaan tersebut dibuat tiga kelompok tes melukis. Masing-masing kelompok tes tersebut dipimpin oleh Basuki Abdullah, Soebanto Soerjo Soebandrio, dan S. Soedjojono. Melalui organisasi Peragi inilah seni rupa Indonesia mengalami perkembangan.

Pada masa revolusi banyak pelukis Jakarta yang pindah ke Jogjakarta dan mendirikan sanggar-sanggar seni lukis di sana, antara lain Affandi. Pada awal kehadiran di Jogjakarta Affandi mendirikan perkumpulan “Seniman Masyarakat” kemudian berganti nama menjadi “Seniman Indonesia Muda”, dengan beranggotakan Dullah, Harjadi, S. Soedjojono, dan Abdul Salam.

Pada waktu diberikutnya Affandi bersama Hendra Gunawan mendirikan sanggar “Pelukis Rakyat” dengan anggota Trubus Soedarsono, Soediardjo, Koesnadi, Setjojoso, dan Soedarso. Selanjutnya pada tahun 1947, para seniman muda, mirip Juski Hakim, Sasongko, Abas Alibasjah, Chairul Bachri, Djono Trisno, Nasir Bondan, Ali Marsaban, Edhi Soenarso dan Sutopo serta beberapa seniman muda lainnya bergabung mendirikan sanggar lukis dengan tujuan mempersembahkan peluang kepada seniman-seniman muda untuk berbagi bakatnya. 

Pada waktu itu tema-tema yang diangkat dalam lukisannya berkaitan dengan semangat usaha serta bentuk-bentuk kebebasan berekspresi tanpa terikat pada kaidah-kaidah tertentu. Sesudah era revolusi, perkembangan seni lukis di Indonesia makin memperlihatkan jati dirinya sebagai penggalan yang mempunyai kiprah besar dalam membentuk kebudayaan nasional. 

Sekitar tahun 1970-an dunia seni lukis Indonesia mengalami masa “boom lukisan” dan bisa mengantarkan para seniman lukis Indonesia pada pintu ujian gambaran berkesenian mereka. Mereka dituntut untuk bisa memenuhi seruan pasar sekaligus menguji kreativitas para seniman lukis dalam mempertahankan mutu karyanya. 

Pada masa itu pula sejarah seni lukis Indonesia mencatat lahirnya sang maestro di dunia lukis Indonesia, yaitu Affandi dan Basuki Abdullah. melaluiataubersamaini gaya lukisannya bisa menempatkan diri pada posisinya sebagai seniman lukis yang profesional.

2) Perkembangan seni bangunan pada masa penjajahan

Pengaruh kebudayaan Eropa pada masa penjajahan terhadap kebudayaan Indonesia tidak terbatas pada seni lukis saja, pada bidang seni bangunan (arsitektur) banyak peninggalan seni bangunan bergaya Eropa bertebaran di Indonesia. Misalnya bangunan benteng, istana, rumah tempat kediaman orang-orang Belanda ataupun Portugis, dan bangunan gereja. 

Beberapa bangunan peninggalan masa kolonial tersebut kini banyak yang masih berfungsi sebagaimana asalnya, dan sebagian justru menjadi objek wisata budaya, misal Benteng Vredeburg, Vesting, Vestenburg, dan Verstrerking.

Pembangunan benteng-benteng tersebut tiruanla diawali dengan pembangunan gudang-gudang (pakhuizen) tempat menyimpan barang-barang dagangan, yang kemudian menjelma tempat untuk melindungi diri dari serangan pihak penguasa ketika itu. Banyaknya bangunan bergaya Eropa sebagai peninggalan masa penjajahan Belanda di Indonesia ialah hasil karya para arsitek Belanda. Arsitek Belanda yang merancang bergaya Eropa, antara lain:
  1. Herman Thomas Karsten, banyak membuat rancang bangun bergaya Eropa dipadukan dengan gaya tradisional. Salah satu hasil karyanya yakni bangunan Pasar Johar di Semarang dan bangunan Museum Sonobudoyo – Jogjakarta;
  2. W. Lemei, berhasil merancang bangunan kantor gubernuran di Surabaya yang populer dan megah;
  3. Henri Mclaine Pont, mempunyai keunggulan memadukan arsitektur Eropa dengan arsitektur tradisional. Ia banyak menghasilkan bangunanbangunan gereja di Jawa, kompleks Gereja Kristen Poh Sarang, Kediri, membangun kompleks permukiman di wilayah Darmo; Surabaya dan merekonstruksi kota kuno Majapahit;
  4. C. Citroen, berhasil merancang bangunan gedung “randhuis” atau kantor Balai Kota di Surabaya pada tahun 1927, beberapa bangunan rumah kediaman yang tergolong perumahan elite, serta bangunan gereja;
  5. CP Wolf Schoemaker, guru Bung Karno dalam ilmu Teknik. Salah satu karya monumentalnya yakni bangunan Villa Isola yang berada di Jalan Lembang Bandung. Semula dipakai sebagai bangunan tempat tinggal, kemudian menjadi bangunan Hotel Homann dan gedung “Societeit Concordia” di Bandung.
Pengaruh seni bangunan model Eropa tetap menjadi penggalan dari model arsitektur perumahan di Indonesia hingga kini. Di era tahun 1990-an, seni bangunan Indonesia marak kembali dengan model bangunan ala Spanyol. 

Bangunan tempat tinggal, dibuat dengan pilar-pilar penyangga di penggalan depan. Beberapa bangunan real estate di kota-kota besar banyak mengatakan model perumahan dengan gaya Eropa yang berkesan megah dan modern.

3) Perkembangan seni kerajinan pada masa penjajahan

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda bidang seni kriya atau kerajinan, memperoleh peluang untuk berkembang. Pada waktu pemerintah Hindia Belanda mengalami kesusahan dalam hal penyediaan alat perlengkapan bagi tentaranya alasannya yakni adanya konflik dengan Inggris, maka Gubernur Jenderal Daendels yang berkuasa di Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan. 

Kebijakan tersebut terkena perlunya pengembangan kerajinan rakyat di bidang pengadaan pakaian, topi, sabuk, sepatu, pakaian berkuda, dan tempat peluru. Pengembangan kerajinan rakyat dipakai untuk memenuhi kebutuhan tentara Belanda.

Demikian pula pada tahun 1811, ketika Raffles berkuasa, ia membuka peluang banyak sekali jenis kerajinan rakyat, antara lain pengecoran logam, seni ukir, dan batik untuk dikembangkan sebagai komoditi ekspor.

Pada awal tahun 1888, pemerintah Hindia Belanda memulai langkah-langkah training terhadap kerajinan rakyat melalui forum swasta perhimpunan Hindia Belanda. Salah satunya training kerajinan dan pertanian yang dipimpin oleh Van Der Kemp dengan mempersembahkan penyuluhan dan menolongan modal serta peralatan.

Pada tahun 1909 pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah pertukangan di Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Pemerintah Hindia Belanda juga sekolah Kerajinan ukir tanduk, anyaman, dan keramik di Ngawi, Jawa Timur.

4) Perkembangan seni sastra pada masa penjajahan

Perkembangan seni sastra pada masa penjajahan di Indonesia berawal ketika pemerintah Hindia Belanda mengizinkan pendirian sekolah-sekolah dan mengizinkan penduduk pribumi (meski spesialuntuk kalangan terbatas) untuk mengenyam pendidikan (meski terbatas pada tingkat tertentu saja).

Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda dalam menjalankan politik etis, khususnya dalam bidang pendidikan sudah membuka kesadaran masyarakat dalam bidang membaca dan menulis. Hal itu ditandai dengan munculnya banyak sekali terbitan surat kabar berbahasa Melayu yang ada di Jakarta maupun kotakota besar lainnya. Surat kabar berbahasa Melayu, antara lain:
  • surat kabar Bintang Timoer, terbit di Surabaya, tahun 1862;
  • surat kabar Pelita Ketjil, terbit di Padang, tahun 1882;
  • surat kabar Bianglala di Jakarta dan surat kabar Medan Prijaji di Bandung yang terbit pada tahun 1867.
Melalui surat kabar inilah para cerdik cendekiawan pribumi menuangkan banyak sekali gagasan buah pikirannya. Beberapa dongeng bersambung maupun dongeng roman, baik yang ditulis dalam bahasa Melayu maupun bahasa Belanda terbit menghiasi surat kabar tersebut. Beberapa karya sastra dalam bentuk dongeng bersambung atau roman pada waktu itu, antara lain:
  1. Hikayat Siti Mariah, karangan H. Mukti, ialah dongeng bersambung yang melukiskan kehidupan sehari-hari;
  2. Boesono dan Nyai Permana, karangan Raden Mas Tirto Adhisuryo, ialah dongeng roman;
  3. beberapa karangan mas Marco Martodikromo, berjudul: Mata Gelap (1914), Studen Hidjo (1919), Syair Rempah-Rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924). Karangan mas Marco Martodikromo ini oleh pemerintah Hindia Belanda dikategorikan sebagai “bacaan liar”, alasannya yakni meliputi hasutanhasutan untuk memberontak;
  4. Edward Douwes Dekker, seorang pengarang bangsa Belanda yang memakai nama samaran Multatuli menerbitkan karya sastranya yang berjudul “Max Havelaar”. Buku tersebut menggambarkan penderitaan masyarakat pribumi di bawah kekuasaan pemerintahan penjajah Belanda. Tulisan tersebut dibuat berdasarkan pengalamannya ketika bertugas di Indonesia, sebagai tangan kanan residen Lebak, Banten tahun 1856;
  5. Pada tahun 1908 pemerintah Hindia Belanda mendirikan “commissie voor de Inlandsche school de volkslectuur” atau Komisi Bacaan Rakyat atau Balai Pustaka yang bertugas menilik dan mencetak naskah-naskah dongeng rakyat yang ditulis dalam bahasa daerah. Perkembangan diberikutnya komisi tersebut juga menerbitkan kisah kepahlawanan orang-orang Belanda dan cerita-cerita kuno Eropa;
  6. Pada tahun 1914, Balai Pustaka menerbitkan roman pertama dalam bahasa Sunda berjudul: “Beruang ka nu Ngarora” artinya Racun Bagi Kaum Muda pengarangnya D.K. Ardiwinata;
  7. Pada tahun 1918, Balai Pustaka menerbitkan karya saduran Merari Siregar yang berjudul dongeng Si Jamin dan si Johan, disadur dari karya J. Van Maurik. Selain itu Merari Siregar juga mengarang buku roman “hukuman dan Sengsara”, ialah roman pertama berbahasa Indonesia yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1920. Roman tersebut mengkritisi adat kawin paksa yang berlangsung pada masa itu;
  8. Pada tahun-tahun diberikutnya muncul beberapa roman yang menyoroti tema kawin paksa, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka, antara lain:
  • Siti Nurbaya, karangan Marah Rusli (1922);
  • Muda Teruna, karangan Muhammad Kasim (1922);
  • Karam Dalam Gelombang Percintaan, karya Kedjora (1926);
  • Pertemuan, karya Abas Sutan Pamuntjak (1928);
  • Tjinta Membawa Maut, karya Abdul Ager dan Nursiah Iskandar (1926);
  • Darah Muda, karya Adi Negoro (1927);
  • Asmara Djaja, karya Adi Negoro (1928);
  • Salah Asuhan, karya Abdul Muis (1928).

5) Perkembangan seni pertunjukan pada Masa Penjajahan

Pada masa penjajahan Belanda perkembangan seni pertunjukan, khususnya seni drama modern diawali dengan adanya kelompok teater keliling “Teater Bangsawan” pada tahun 1870 yang berasal dari Penang, Malaysia.

Saat mengadakan pentas di Jakarta rombongan tersebut bubar dan tiruana peralatannya dibeli oleh Jaafar yang kemudian membentuk rombongan gres yang dinamainya” Stamboel “. Di Deli, Sumatra utara sudah berdiri teater Indera Ratoe Opera. Beberapa perkumpulan seni pertunjukan yang muncul di era penjajahan Belanda, antara lain:

  1. di Surabaya muncul perkumpulan teater berjulukan Komedi Stamboel yang didirikan oleh August Mehieu, seorang peranakan indo – Perancis, dan didukung dana oleh Yap Goam Tay dan Cassim, bekas pemain teater Indera Bangsawan;
  2. di lingkungan masyarakat keturunan Cina pada tahun 1908 mendirikan “Opera Derma” atau “Tjoe Tee Hie”, kemudian tahun 1911 muncul perkumpulan teater “Tjia Im”, “Kim Ban Lian”, Tjin Ban Lian” yang kemudian muncul kelompok teater paling populer yakni “Orion” atau “Miss Riboet’s Orion” dengan bintang panggungnya yang berjulukan Miss Riboet;
  3. di Surabaya pada tanggal 21 Juni 1926, Willy Klimanoff, seorang Rusia kelahiran Surabaya mendirikan rombongan sandiwara keliling “Dardgualla” yang sangat terkenal. Teater tersebut didukung bintang panggung Tan Tjeng Bok (kemudian menjadi bintang film terkenal) dan berhasil mengadakan pertunjukan keliling ke Cina, Burma, dan Eropa, kemudian bubar;
  4. Perdro dan Dja, bekas anggota Dardgualla mendirikan kelompok “Bolero”;
  5. Fifi Young dan Nyoo Cheong, juga bekas anggota Dardgualla mendirikan rombongan gres yang dinamainya “Fifi Young’s Pagoda” pada tahun 1936;
  6. pada masa penjajahan Jepang, tahun 1942 muncul teater Bintang Surabaya yang dipimpin oleh Fred Young dengan anggota para bekas bintang-bintang Dardgualla, yakni Tan Tjeng Bok, Astaman, Dahlia, Ali Yogo, dan Fifi Young;
  7. pada tahun 1943, bermunculan rombonganrombongan teater, mirip Dewi Mada pimpinan Ferry Kok dan isterinya Dewi Mada, teater Warna Sari pimpinan Dasaad Muchsin, dan teater Irama Masa pimpinan Ali Yogo. Semua teater tersebut memakai bahasa Indonesia;
  8. Berikutnya muncul teater-teater gres yang memakai bahasa daerah, antara lain Teater Miss Tjitjih pimpinan Abubakar Bafakih yang memakai bahasa Sunda, Sandiwara Wargo pimpinan Suripto memakai bahasa Jawa, dan seorang tokoh teater berjulukan Tio Jr membentuk teater Miss Riboet di Solo. 

Sumber http://www.kuttabku.com

Post a Comment for "Sejarah Perkembangan Seni Di Indonesia Pada Kurun Prasejarah Dan Kurun Modern Atau Kontemporer"