Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengaruh Penyebaran Kebudayaan Agama Islam Dalam Bidang Politik, Aturan Dan Kekuasaan Pemerintahan Di Indonesia

Berikut ini akan dijelaskan terkena efek islam, efek kebudayaan islam di indonesia, penyebaran islam di indonesia, efek islam di indonesia, penyebaran agama islam di indonesia, efek agama islam di indonesia, efek islam dalam bidang politik, efek islam dalam bidang pemerintahan.

Pengaruh Penyebaran Agama Islam

1. Pengaruh Islam terhadap sistem kekuasaan dan hukum

a. Pengangkatan raja

Sistem pengangkatan raja pada masa berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia tetap tidak mengabaikan cara pengangkatan raja menyerupai pada masa sebelum Islam. 

Berdasarkan himpunan aturan sopan santun Aceh yang tercantum dalam sopan santun Makuta Alam, yang disusun secara lengkap pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, pengangkatan dan penobatan sultan sebagai diberikut.

Menurut lembaran sejarah sopan santun yang menurut aturan (syarak) dalam pengangkatan sultan haruslah tiruanfakat aturan dengan adat. 

Oleh lantaran itu, waktu sultan dinobatkan, sultan bangun di atas tabal, ulama yang memegang Quran bangun di kanan, perdana menteri yang memegang pedang bangun di kiri. 

Pada umumnya di Tanah Aceh, pangkat sultan turun kepada anak. Sultan diangkat oleh rakyat atas mufakat dan persetujuan ulama dan orang-orang besar cerdik pandai. 

Adapun orang-orang yang diangkat menjadi sultan dalam aturan agama harus mempunyai syarat-syarat bahwa ia mempunyai kecakapan untuk menjadi kepala negara (merdeka, dewasa, berpengetahuan, adil), ia cakap untuk mengurus negeri, hukum, dan perang, mempunyai kebijakan dalam hal mempertimbangkan serta menjalankan aturan dan adat. 

Jikalau raja mangkat sebelum adanya pengganti oleh lantaran beberapa alasannya lain, maka Panglima Sagi XXII Mukim-lah yang menjadi wakil raja, mendapatkan hasil yang didapat dalam negeri Aceh dan kawasan taklukan atau jajahannya. 

Jikalau sudah ada yang patut diangkat menjadi raja, maka perbendaharaan itu pun dengan sendirinya berpindah kepada raja.

Raja-raja pertama pada masa permulaan kerajaan Islam di Jawa menyerupai Demak, Cirebon, Banten, umumnya waktu penobatan dilakukan oleh para wali sanga yang diketuai oleh Sunan Ampel Denta. 

Sunan Gunung Jati yang menjadi raja pertama di Cirebon sudah menerima restu dari Dewan Wali Sembilan dan didiberi gelar raja-pendeta yang menguasai tatar Sunda ketika para wali berkumpul di Demak untuk merencanakan perkawinan Pangeran Hasanuddin dengan Putri Demak, beberapa dikala kemudian Pangeran Hasanuddin dinobatkan menjadi raja di Banten.

b. Kekuasaan raja dan pangeran terhadap raja

Adat Makuta Alam sudah mempersembahkan beberapa citra ihwal kekuasaan sultan atau raja (Aceh). Sultan mengangkat panglima sagi dan masa penobatan panglima sagi menerima kehormatan dengan membunyikan dentuman meriam sebanyak 21 kali, juga sultanlah yang mengangkat uleebalang yang pada masa penobatannya menerima kehormatan dentuman meriam sebanyak 21 kali.

Raja mengadili perkara-perkara yang bekerjasama dengan pemerintahan menyerupai menindak audiensi, termasuk mendapatkan tamu-tamu absurd yang akan berdagang dengan negeri Aceh. 

Raja berkewajiban melindungi rakyat dari tindakan adikara para pejabat kerajaan. Ia mempunyai kekuasaan untuk mengangkat orang-orang yang hebat dalam aturan (ulama), 

mengangkat orang cerdik pintar untuk mengurus kerajaan, mengangkat orang yang perkasa untuk pertahanan negeri yaitu uleebalang atau panglima sagi. 

Dalam menjalankan kekuasaannya, sultan atau raja menerima pengawasan dari alim ulama, kadi, dan dewan kehakiman terutama memdiberi peringatan kepada raja terhadap pelanggaran pada sopan santun dan syara'.

c. Birokrasi sentra dan daerah

Dari Hikayat Raja-Raja Pasai, Hill sebut beberapa pejabat kerajaan dan pejabat militer dari masa pemerintahan Sultan Malik as-Saleh sampai Sultan Ahmad (cicit Sultan). 

Sebutan pejabat-pejabat ini diuraikan menurut perbandingan dengan Sejarah Melayu. Adapun pejabat-pejabat kerajaan yaitu menteri, hulubalang, sidasida, embua, pandita dan beberapa pembesar istana. 

Kepala kampung yang memmenolong mengumpulkan orang-orang untuk berperang disebut pendikar atau pengulu. Adapun nama-nama pejabat militer dalam kerajaan ialah panglima kemudian di bawahnya menyusul hero dan ponggawa sedang pasukan kerajaan umumnya disebut laskar. 

Selain itu untuk para ratu dan putri-putri raja, terdapat pemmenolong-pemmenolong menyerupai perwara; para menteri mempunyai pemmenolong yang disebut inang, dayang-dayang dan pengasuh bahkan terdapat pula beti-beti. 

Para penguasa atau pemegang pemerintahan tertinggi bergelar Tun Beraim Bapa, atau gelar lain Tuanku, untuk raja yang memegang pemerintahan bergelar Syah Alam bahkan pada beberapa bab lain dalam hikayat adakala ditambah pula gelar Zillu'lahi fi'l alam, adakala pula terdapat gelar Daulat Dirgahayu. 

Gelar tertinggi pejabat kerajaan, yaitu perdana menteri, sebagai pola pada pemerintahan Malik al-Mahmud yang menjadi perdana menteri yaitu Giatu'ddin. Raja-raja Pasai yaitu laksamana, yaitu jabatan yang bekerjasama dengan pelayaran perdagangan serta pertahanan laut.

d. Mobilitas golongan birokrat

Pada masa pemerintahan Kerajaan Samudra Pasai ini kita masih banyak melihat adanya mobilitas vertikal dan sangat sedikit adanya mobilitas horisontal. Sultan Malik az-Zhahir mempunyai dua orang anak, yaitu Malik al-Mahmud dan Malik al-Mansur.

Kedua putra raja itu semasa kecilnya diserahkan kepada seorang alim-ulama berjulukan Sayid Ali Chiatuddin untuk dididik. Sayid Ali Chiatuddin dinaikkan kedudukannya sebagai perdana menteri.

Mobilitas horizontal sanggup terjadi biasanya lantaran sang raja mempunyai putra pria banyak, dan mereka perlu didiberi jabatan kepala kawasan di suatu tempat, atau sanggup juga terjadi sebagai tanggapan pergeseran pejabat-pejabat dari satu tempat dipindahkan ke tempat lain dengan kedudukan yang sama.

Pada kala ke-16, Cirebon masih ialah suatu kawasan kecil di bawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran melalui bupati dari Galuh spesialuntuk menempatkan seorang juru labuhan di Cirebon. 

Namun ketika Cakrabuana, seorang tokoh yang masih mempunyai hubungan darah dengan keluarga Raja Pajajaran, berhasil memajukan Cirebon, ia sudah menganut agama Islam. 

Usaha memajukan agama Islam bersamaan dengan perjuangan menaikkan status sosial pejabat-pejabat Cirebon. Usaha ini menerima menolongan penuh dari Demak. 

Seorang tokoh yang dikenal sebagai salah satu wali sanga berhasil menaikkan tingkat mobilitas menjadi raja di Cirebon. 

Sunan Gunung Jati, demikian nama tokoh tersebut, berhasil menjadi raja Cirebon dan melaksanakan ikatan perkawinan dengan seorang putri dari Raden Patah (Ratu Masa Nyawa). 

melaluiataubersamaini naiknya status sosial Sunan Gunung Jati dari seorang alim-ulama yang tadinya tidak memegang peranan penting dalam pemerintahan, maka ia berhasil meluaskan dan berusaha meruntuhkan Kerajaan Pajajaran. 

Ia memperoleh gelar rangkap lantaran peranannya yang menonjol di bidang keagamaan dan pemerintahan yaitu pendeta.

e. Pengaruh penyebaran Islam terhadap perkembangan kota dan terbentuknya jaenteng serta intelektual di kepulauan Indonesia

Dalam jaenteng kemudian lintas di Indonesia, pelabuhan mempunyai fungsi sebagai penghubung antara jalan maritim dan jalan darat. 

Komunikasi dengan kawasan pedalaman lebih banyak menggunakan sungai, sehingga lokasi pelabuhan yang dekat muara sungai akan lebih menguntungkan, lantaran produksi kawasan pedalaman sanggup diangkat melalui sungai ke pelabuhan. 

Sejak zaman kuno, pelayaran dan perdagangan memerlukan pelabuhan sebagai tempat singgah, mengambil bekal, dan menumpuk barang, sebelum hasil kawasan diangkat ke sentra perdagangan.

Pada kala XVI sudah terdapat banyak kota pelabuhan di Sumatra, Jawa, Maluku, dan pulau-pulau lainnya yang berfungsi sebagai sentra perdagangan. 

Hubungan perairan di kawasan dilakukan dengan menggunakan bahtera kecil, sedangkan pengangkutan lebih lanjut ke pusat-pusat pelabuhan besar dilakukan oleh pedagang dari luar dengan menggunakan kapal-kapal yang lebih besar. 

Pusat-pusat perdagangan kala XVI sanggup disebutkan di kawasan sepanjang pantai timur Sumatra dan di seberang Selat Malaka, di antaranya Kerajaan Aceh, Lamuri, Arkat, Rupat, Siak, Kampar Tongkal, Indragiri, Klang, Bernam, dan Perlak di pantai barat Semenanjung Malaya.

Di pantai barat Pulau Sumatra sudah muncul beberapa pelabuhan kecil di antaranya Baros, Tiku, Meulaboh, dan Andalas. Adapun pelabuhan Pasai, Pidie, Palembang, Priaman termasuk sentra pelabuhan perdagangan tingkat kedua di bawah Malaka. 

Daerah sekitar Selat Malaka sudah barang tentu masuk kawasan efek Malaka, sedangkan Jambi dan Palembang masuk lingkungan Demak. Lampung dan Tulangbawang masuk efek Kerajaan Sunda, sedang Bangka masuk dalam efek Jepara. 

melaluiataubersamaini munculnya penguasa-penguasa gres pada kala XVI, maka Jepara, Cirebon, Sunda Kelapa, Banten, Gresik, Tuban tumbuh sebagai kota pelabuhan. Maluku ialah stasiun terakhir dari pelayaran internasional. 

Daerah Maluku termasuk di antara Ternate, Tidore, Makian, Bacan, Motir, Jailolo ialah penghasil rempah-rempah menyerupai pala, cengkih, dan lada. Organisasi pelabuhan pada dikala itu rata-rata sudah berjalan dengan cukup baik. 

Bentuk organisasi pelabuhan yang ada pada dikala itu cukup sederhana. Setiap pelabuhan dipimpin oleh syahbandar, di mana setiap ada kapal yang hadir, maka syahbandar akan hadir mengunjunginya. Syahbandar biasanya dijabat lebih dari satu orang dalam satu pelabuhan. 

Tugas syahbandar yaitu mempersembahkan hikmah kepada awak kapal yang hadir ihwal cara-cara berdagang di wilayah itu. 

Selain itu, ia menaksir barang dagangan yang dibawa, menarikdanunik pajak, serta memilih bentuk dan jumlah persembahan yang harus diserahkan kepada raja, bendahara, dan tumenggung. 

Kerajaan yang bersifat agraris mempunyai ibu kota di pedalaman dengan menitikberatkan penghasilannya pada pertanian, menyerupai Kerajaan Pajang dan Mataram. 

Antara kerajaan yang bersifat maritim dan kerajaan yang bersifat agraris mempunyai perbedaan dalam sistem ekonomi dan pertahanannya. 

Dari kerajaan yang bersifat agraris inilah lahir kota-kota yang bercorak agraris. Masyarakat agraris menitikberatkan acara sehari-hari kepada pertanian, sedangkan kekuatan militernya lebih mementingkan pada angkatan darat. 

Munculnya kota-kota pelabuhan membawa dampak adanya hubungan eksklusif antara pedagang absurd dan pedagang pribumi maupun antarpedagang pribumi sendiri. 

Pesisir dan muara sungai tersebut hasilnya menjadi tempat bergaulnya para pedagang dari banyak sekali pulau di Indonesia. Dari pergaulan itu kemudian terjadi proses integrasi antara masyarakat Indonesia dan para pedagang.

Sumber http://www.kuttabku.com

Post a Comment for "Pengaruh Penyebaran Kebudayaan Agama Islam Dalam Bidang Politik, Aturan Dan Kekuasaan Pemerintahan Di Indonesia"