Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Kerajaan Islam Di Sumatera Barat Serta Alasannya Yakni Terjadinya Perang Padri Dan Usaha Tuanku Imam Bonjol

Berikut ini akan dijelaskan wacana kerajaan islam, sejarah kerajaan islam di indonesia, kerajaan islam di indonesia, kerajaan islam di sumatera, kerajaan islam di sumatra barat, kerajaan di sumatera barat, sejarah minangkabau, kerajaan islam di sumatera barat, islam di sumatera barat, sejarah kerajaan minangkabau, perang padri, pemimpin perang padri, alasannya yaitu terjadinya perang padri, harimau nan salapan, usaha imam bonjol, imam bonjol, tuanku imam bonjol.

Kerajaan Islam di Sumatera Barat

Islam di kawasan Lampung tidak akan dibicarakan lantaran kawasan ini sudah semenjak awal masuk kekuasaan Kesultanan Banten, lantaran itu yang akan dibicarakan pada bab ini ialah Kerajaan Islam di Sumatra Barat. 

Mengenai masuk dan berkembangnya Islam di kawasan Sumatra Barat masih sukar dipastikan. Berdasarkan diberita Cina dari Dinasti T’ang yang sebut sekitar masa ke-7 (674 M) ada kelompok orang-orang Arab (Ta’shih) dan disebutkan oleh W.P. Goeneveldt, wilayah perkampungan mereka berada di pesisir barat Sumatra. 

Islam yang hadir dan berkembang di Sumatra Barat diperkirakan pada simpulan masa ke-14 atau masa 15, sudah memperoleh pengaruhnya di kerajaan besar Minangkabau. 

Bahwa Islam sudah masuk ke kawasan Minangkabau pada sekitar simpulan masa ke-15 mungkin sanggup dihubungkan dengan dongeng yang terdapat dalam naskah kuno dari Kerinci wacana Siak Lengih Malin Sabiyatullah asal Minangkabau yang mengenalkan Islam di kawasan Kerinci, 

semasa dengan Putri Unduk Pinang Masak, Dayang Baranai, Parpatih Nan Sabatang yang ketiruananya berada di kawasan Kerinci. 

Tome Pires (1512-1515) juga mencatat keberadaan tempat-tempat menyerupai Pariaman, Tiku, bahkan Barus. 

Dari ketiga tempat ini diperoleh barang-barang perdagangan, menyerupai emas, sutra, damar, lilin, madu kamper, kapur barus, dan lainnya. 

Setiap tahun ketiga tempat tersebut juga dikunjungi dua atau tiga kapal dari Gujarat yang membawa barang dagangannya antara lain pakaian.

Melalui pelabuhan-pelabuhannya semenjak masa ke-15 dan ke-16 relasi antara kawasan Sumatra Barat dengan banyak sekali negeri terjalin dalam relasi perdagangan antara lain dengan Aceh. 

Pada masa Iskandar Muda, Pariaman ialah salah satu kawasan yang berada di bawah efek Kerajaan Aceh dan demikian pula semenjak penggantinya. 

Pada masa ke-17 M, terdapat ulama populer di Sumatra Barat salah seorang anakdidik Abdurrauf al-Sinkili yang populer berjulukan Syaikh Burhanuddin (1646-1692) di Ulakan. 

Ia mendirikan surau dan tak disangsikan lagi Ulakan ialah sentra keilmuan Islam di Minangkabau. Tarekat Syattariyah yang diajarkannya tersebar di kawasan Minangkabau dan fatwa tasawufnya cenderung kepada syariah dan sanggup dikatakan sebagai fatwa neo-sufisme. 

Syaikh Burhanuddin dalam masyarakat setempat dikenal sebagai Tuanku Ulakan. Penyebaran Islam yang bersifat pembaruan dan menjangkau lebih jauh lagi mencapai titikpuncaknya pada awal masa ke-19. 

Sejak awal masa ke-16 hingga awal masa ke-19 di kawasan Minangkabau senantiasa terdapat kedamaian, samasama saling menghargai antara kaum watak dan kaum agama, antara aturan watak dan syariah Islam sebagaimana tercetus dalam pepatah “Adat bersandi syara, syara bersandi adat”. 

Sejak awal masa ke-19 timbul pembaruan Islam di kawasan Sumatra Barat yang membawa efek Wahabiyah dan kemudian memunculkan “Perang Padri “, perang antara golongan watak dan golongan agama. Wilayah Minangkabau memiliki seorang raja yang berkedudukan di Pagarruyung. 

Raja tetap dihormati sebagai lambang negara tetapi tidak memiliki kekuasaan, lantaran hakikatnya kekuasaan ada di tangan para panghulu yang tergabung dalam Dewan Penghulu atau Dewan Negari.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau lambat laun terjadi kebiasaan jelek menyerupai main judi, menyabung ayam, menghisap madat dan minum-minuman keras. 

Para pembesarnya tidak sanggup mencegah bahkan di antaranya turut serta. Terkait dengan hal itu, kaum ulamanya yang kelak dinamakan kaum “Padri” berkeinginan mengadakan perbaikan mengembalikan kehidupan masyarakat Minangkabau kepada kemurnian Islam. 

Di antara kaum ulama itu Tuanku Kota Tua dari kampung Kota Tua di dataran Agam mengajarkan kemurnian Islam menurut al-Qur’an dan hadis. 

Sementara itu, pada 1803 tiga orang haji kembali dari Makkah yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piabang dari Tanah Datar. 

Ketika Haji Miskin melarang penyabungan ayam di kampungnya, maka kaum watak melawan sehingga Haji Miskin dikejar-kejar dan dikala hingga ke Kota Lawas ia menerima pinjaman dari Tuanku Mensiangan. 

Dari sini Haji Miskin lari ke Kamang dan bertemu dengan Tuanku Nan Renceh yang hasilnya melalui pertemuan beberapa tokoh ulama terutama di darah Luhak Agam dibentuklah kelompok yang disebut “Padri” yang tujuan utamanya ialah memperjuangkan tegaknya syara dan membasmi kemaksiatan. 

Mereka itu terdiri dari Tuanku Nan Renceh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aer, Tuamku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku Kubu Senang.

Kedelapan ulama Padri itu disebut Harimau Nan Salapan. Perjuangan kaum Padri itu makin kuat, tetapi pihak kaum Adat dimenolong Belanda untuk laba politik dan ekonominya. 

Hal ini membuat kaum Padri melawan dua kelompok sekaligus yaitu kaum Adat dan kaum penjajah Belanda termasuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme Belanda. 

Pada awal masa ke-19, Belanda dengan adanya celah perperihalan antara kaum watak dengan kaum  ulama dalam Perang Padri, menggunakan peluang demi laba politik dan ekonominya. 

Tahun 1830-1838, ditandai dengan perlawanan Padri yang meningkat dan penyerbuan Belanda secara besar-bemasukan. 

Perlawanan Padri diakhiri dengan tertangkapnya pemimpin-pemimpin Padri terutama Tuanku Imam Bonjol dalam pertempuran Benteng Bonjol, pada 25 Oktober 1837. 

melaluiataubersamaini demikian, pemerintah Hindia Belanda pada simpulan 1838 berhasil mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonominya di kawasan Minangkabau atau di Sumatra Barat. 

Tuanku Imam Bonjol kemudian diasingkan ke Cianjur, dan pada 19 Januari 1839 dimembuang ke Ambon, serta pada 1841 dipindahkan ke Menado kemudian ia wafat di tempat itu pada 6 November 1864.

Sumber http://www.kuttabku.com

Post a Comment for "Sejarah Kerajaan Islam Di Sumatera Barat Serta Alasannya Yakni Terjadinya Perang Padri Dan Usaha Tuanku Imam Bonjol"